[↓]
Cerpen : Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Oleh : A. Mustofa Bisri
Berbeda dengan acara pengajian yang
lain, pengajian dalam rangka haul,
pengunjungnya jauh lebih banyak. Haul –
berbeda dengan mauludan yang
merupakan peringatan hari lahir Nabi
Muhammad – adalah peringatan hari wafat. Biasanya yang di-haul-i adalah kiai besar.
Tapi sekarang setiap orang bisa dihauli,
tergantung keluarganya.
Apabila keluarga seseorang yang sudah
meninggal menghendaki dan mempunyai
cukup biaya untuk mengadakan peringatan
haul, sekarang ini bisa-bisa saja
mengadakannya. Bedanya dengan haul kiai
besar, haul keluarga ini segala sesuatunya hanya ditanggung dan ditangani oleh
keluarga yang bersangkutan itu sendiri.
Sementara haul kiai besar lazimnya
diselenggarakan oleh masyarakat.
Panitianya juga dibentuk oleh dan dari
masyarakat. Keluarga kiai yang dihauli biasanya hanya didudukkan sebagai
penasihat panitia.
Tradisi haul dengan pengajian besar-
besaran semula dimaksudkan
sebagaimana mauludan – untuk
mengenang jasa dan menuturkan sejarah
kiai yang dihauli dengan tujuan agar
diteladani oleh masyarakat.
Malam itu saya diundang pengajian haul
kiai besar di daerah P. Saya datang tidak
hanya karena saya mengenal Kiai Akrom
yang dihauli sebagai tokoh yang dicintai
masyarakat pada masa hidupnya, tapi
juga ingin mendengarkan ceramah Kiai Luqni, seorang mubalig kondang yang
berbeda dengan kebanyakan mubalig lain.
Kiai Luqni suaranya empuk, bicaranya
sejuk. Tidak berkobar-kobar. Bila
membaca ayat-ayat Quran selalu
dilagukan dengan merdu. Ceramahnya
mudah dicerna oleh berbagai lapisan
masyarakat, baik yang terpelajar maupun yang awam. Kadang-kadang bicaranya
diselingi dengan humor-humor segar yang
tidak vulgar. Lebih dari itu; Kiai Luqni
dalam ceramahnya, tidak pernah
mengecam, menuding, atau apalagi
mencaci orang. Tidak pernah menggurui, apalagi bersikap seolah-olah penguasa
agama yang paling tahu kehendak Tuhan.
Di majelis haul, ribuan hadirin mengelu-
elukan kedatangan dai kecintaan mereka,
Kiai Luqni. Mereka yang dekat dari tempat
Kiai Luqni berjalan menuju ke rumah
keluarga Kiai Akrom yang dihauli,
berhamburan menyambut dan menciumi tangannya. Sementara yang jauh pada
melambaikan tangan. Dengan tersenyum,
Kiai Luqni membalas sambutan itu dengan
wajah berseri-seri tanpa kesan bangga.
***
[↑] [↓]
Acara berikutnya ialah acara inti,
terdengar suara pembawa acara di
pengeras suara, acara yang kita nanti-
nantikan: mau`izhah hasanah dan tausiah
dari almukarram Bapak Kiai Haji Luqni.
Waktu dan tempat kami persilakan secukupnya!
Kiai Luqni pun dengan tenang dan anggun
naik ke panggung diiringi selawat hadirin
dan hadirat. Kiai Luqni sendiri ikut
membaca salawat sebelum kemudian
duduk di kursi yang sudah disiapkan. Lalu
menyampaikan salam. Sekalian hadirin seketika menyambut salam dengan gegap
gempita; kemudian diam dan dengan
tenang menyimak.
Dengan gamblang, Kiai Luqni menerangkan
hikmahnya diadakan peringatan haul.
"Para hadirin, haul itu kebalikan dari
peringatan maulid. Kalau peringatan
maulid adalah peringatan kelahiran. Maulid
Nabi adalah peringatan hari lahir Nabi
Muhammad Saw. Sedangkan haul
merupakan peringatan kematian; biasanya memperingati wafatnya kiai yang
meneruskan perjuangan Kanjeng Nabi
seperti haul Kiai Akrom sekarang ini".
"Ini adalah haul Kiai Akrom yang ke-13.
Berarti sudah 13 tahun Kiai Akrom wafat.
Sudah 13 tahun kita ditinggalkannya. Tapi,
lihatlah, selama itu kita yang sekian
banyak ini masih terus mengenang dan
mendoakan beliau. Mengapa? Karena kita semua merasa telah menerima jasa dan
kebaikan beliau. Beliau telah mengajarkan
dan memberi teladan kepada kita hidup
yang baik. Menunjukkan kepada kita mana
yang baik dan mana yang buruk. Yang
mestinya menjadi pertanyaan kita saat ini: apakah apabila kita meninggal akan dihauli
dan dikenang orang banyak seperti Kiai
Akrom ini; ataukah akan segera dilupakan
oleh orang".
"Haul juga mengingatkan kepada kita akan
kematian. Bahwa kita semua, tak pandang
bulu, bila sudah sampai saatnya pasti
dipanggil ke hadirat-Nya. Kita tak tahu
kapan ajal kita tiba, tapi kita tahu bahwa
itu pasti tiba"
"Ada dawuh yang mengatakan, Kafaa
bilmauti waa`izhan. Cukuplah kematian
sebagai pemberi nasihat. Orang yang tidak
mempan dinasihati oleh kematian, jangan
harapkan mempan dinasihati oleh lainnya".
"Orang yang selalu ingat bahwa dia akan
mati, akan bersikap hati-hati. Sebaliknya
mereka yang sembrono, yang sombong,
yang jahat kepada sesama, biasanya
adalah orang-orang yang lupa bahwa
mereka akan mati"
"Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan
dimana akan mati. Seandainya kita tahu
kapan dan dimana kita akan mati, maka kita
bisa mempersiapkan diri. Tapi kita tidak
tahu. Jadi, mestinya setiap saat kita harus
bersiap-siap".
Kiai Luqni kemudian menguraikan
pentingnya mempersiapkan diri
menyongsong kematian. "Mempersiapkan
diri menyongsong kematian yang pasti itu,
bisa kita lakukan dengan membiasakan
perilaku yang baik. Sehingga kapan saja kita dipanggil Tuhan, kita dalam keadaan
berperilaku baik. Jangan sampai kita
membiasakan perilaku buruk, sehingga
dikhawatirkan mati dalam keadaan buruk
pula".
Kiai Luqni pun memberikan contoh-contoh
beberapa tokoh yang dikenal dan
diketahui hadirin. "Anda sekalian kenal,
bukan, dengan Mbah Asnawi dari K? Kiai
yang suka sembahyang itu? Beliau
meninggal saat sujud. Alangkah beruntungnya dipanggil Tuhan dalam
keadaan sedang bersujud kepada-Nya.
Kiai Zaini dari D yang pekerjaannya
mengajar para santri, wafat saat sedang
mengajar para santrinya".
"Sebaliknya, diantara kalian pasti ada yang
pernah membaca berita tentang seorang
tokoh yang meninggal di sebuah kamar
hotel dan – maaf – berada diatas seorang
wanita nakal. Masya Allah!"
"Memang, biasanya orang meninggal
sesuai kesukaan atau kebiasaan hidupnya.
Di tempat saya, ada orang yang suka judi
dan mati pada saat berjudi. Ada yang suka
minum, mati pada saat minum. Na`udzu
billah. Anda sekalian mungkin sudah mendengar berita tentang seorang dosen
yang meninggal saat memberi kuliah. Atau
tentang penyair yang meninggal pada saat
membaca puisi..."
Kiai Luqni berhenti sebentar, memperbaiki
duduknya. Menarik nafas panjang,
kemudian, dengan suara melirih,
mendesiskan Astaghfirullah. Dan tak ada
lagi kata-kata yang terdengar dari
mubalig kondang ini.
Hadirin hanya melihat sosok Kiai Luqni
yang duduk lunglai di tempat duduknya di
atas panggung. Kepalanya tunduk hingga
dagunya menyentuh dada. Suasana
menjadi hening. Sampai beberapa orang
panitia naik panggung setelah beberapa lama Kiai Luqni tak bersuara dan tak
bergerak. Orang-orang pun kemudian
melihat mubalig kesayangan mereka itu
digotong turun.
Suasana pun berubah gempar. Kiai Luqni
wafat. Sesuai ceramahnya, Kiai Luqni
wafat pada saat sedang memberi nasihat.
Kewafatannya meneguhkan nasihatnya.
Cukuplah kematian sebagai nasihat. {}
[↑]