[↓]
Cerpen : Gus Muslih
Oleh : A Mustofa Bisri
GUS Muslih adalah seorang kiai muda yang
tidak hanya cerdas dan
kritis, tapi juga tegas dan lugas. Apabila
melihat sesuatu yang
dianggap tidak benar, tanpa ragu dia akan
terang-terangan menyalahkan. Ungkapan yang paling
disukai ialah qulilhaqqa walau
kaana murran, katakanlah yang benar
meski terasa pahit. Anak-anak
muda paling suka mengundang Gus Muslih
untuk memberikan ceramah.
Bagi anak-anak muda itu, Gus Muslih
dianggap pembaru. Banyak hal yang
sudah berjalan lama di daerah kami yang
dihujat dan dipertanyakan
oleh Gus Muslih. Misalnya kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian, memberi makan kepada para
tamu yang bertakziah dan
memberikan uang salawat kepada kiai atau
modin, dia tentang habis-
habisan.
"Ya kalau keluarga yang tertimpa musibah
itu keluarga yang berada,
tak masalah," katanya dalam sebuah
ceramahnya. "Kalau keluarga itu
miskin? Apakah hal itu tidak menambah
musibah?"
Terhadap sikapnya itu ada yang setuju,
seperti umumnya anak-anak
muda; ada juga yang tidak. Mereka yang
tidak setuju umumnya dari
golongan tua. Golongan tua yang tidak
setuju menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. "Wong itu sudah
merupakan tradisi sejak lama kok
diuthik-uthik!" begitu kilah mereka, "Itu
namanya tidak menghormati
orang-orang tua yang mula-mula
mentradisikan."
Untuk itu Gus Muslih punya jawaban yang
cukup telak. "Tradisi yang
baik memang perlu kita lestarikan, tapi
yang buruk apa harus kita
lestarikan? Kalau begitu apa bedanya kita
dari kaum jahiliah yang dulu mengecam Nabi kita yang mereka
anggap merusak tradisi yang sudah
lama dijalankan nenek-moyang mereka?"
Kelompok tua yang tidak menyetujui Gus
Muslih memang serbasalah
menghadapi. Soalnya Gus Muslih memang
tidak seperti sementara ustad
muda lain yang asal membasmi tradisi;
yang mengecam selamatan dan tahlilan, misalnya.
Gus Muslih selamatan mau, tahlilan juga
mau. Bahkan dia mau memimpin
anak-anak muda ziarah ke makam-makam
Wali Songo. Yang lebih membikin
jengkel kelompok orang tua yang tidak
menyetujui itu, justru karena kiai muda ini selalu bisa menjawab
keberatan mereka dengan
argumentasi yang mematikan; baik
menggunakan dalil naqli atau aqli.
Pernah ada seorang tokoh tua yang
memberi pengajian, isinya lebih mirip kampanye politik ketimbang
ceramah agama.
Tokoh itu dalam rangka menggiring
jamaah untuk mendukung partainya,
selalu menggunakan dalil-dalil ayat
Alquran dan hadis Nabi segala.
Gus Muslih dalam forum pengajian lain pun
mengkritik dengan mengatakan, "Adalah terlalu berani
membawa ayat-ayat dan sunnah Rasul
SAW untuk kepentingan politik praktis. Itu
pelecehan dan sekaligus
membuat umat bingung. Lihatlah, tokoh
partai ini menggunakan ayat dan hadis untuk mendukung partainya, lalu kiai
partai lain juga berbuat
sama untuk mendukung partainya, apa ini
tidak membingungkan
masyarakat? Bila kemudian, karena
menggunakan firman Allah dan sabda Rasul-Nya, masyarakat awam meyakini
sebagai kebenaran mutlak, apa
tidak terjadi sikap mutlak-mutlakan
antarpendukung partai? Bila tidak
mengerti politik, mbok sudah rela saja
tidak usah berpolitik; dari pada membawa-bawa agama. Apakah
tokoh-tokoh yang suka membawa-bawa
ayat dan hadis untuk kepentingan politik
itu tidak memikirkan
akibatnya di dunia atau di akhirat kelak?
Bagaimana kalau tiap-tiap pendukung yang awam itu meyakini bahwa
mendukung partai sama dengan
mendukung agama dan memperjuangkan
partai sama dengan jihad fi
sabilillah?"
Akhirnya kelompok orang-orang tua yang
marah itu, tidak lagi mau
berdialog dengan Gus Muslih dan orang-
orang yang mereka anggap
pendukungnya, baik langsung atau tidak.
Mereka beralih kepada gerakan
membentengi diri. Setiap kali mereka
mengadakan pertemuan antarmereka yang
anti atau tidak sejalan dengan
sikap Gus Muslih dan menganjurkan
jamaah mereka sendiri untuk tidak usah mendengarkan ceramah atau
omongan kiai muda yang mereka anggap
mursal itu. Mereka mengatakan kepada
para pengikut mereka,
mendengarkan bicara Gus Muslih bisa
membahayakan akidah.
Sampai suatu ketika tersebar berita bahwa
Gus Muslih memelihara
anjing. Tentu saja hal itu membuat geger
masyarakat. Kaum muda
pendukung Gus Muslih serta merta
menolak berita itu dan menganggap hanya sebagai fitnah keji dari mereka
yang tidak suka dengan amar
makruf nahi mungkar dia yang tegas.
Sementara kelompok tua yang
sedari awal tidak menyukai Gus Muslih,
langsung menggunakan berita itu untuk menghantam di setiap
kesempatan. "Lihatlah itu, tokoh yang
kalian anggap kiai dan pembaru itu! Dia
bukan saja menyeleweng dari
ajaran orang-orang tua bahkan telah berani
melanggar adat keluarganya. Kalian kan tahu malaikat tidak
akan masuk ke rumah orang
yang memelihara anjing. Sekarang
ketahuan belangnya."
[↑] [↓]
Karena cemburu kepada Gus Muslih, anak-
anak muda pendukungnya pun
tidak rela dan berusaha mencari sumber
dari mana berasal berita bahwa
Gus mereka memelihara anjing itu. Niat
mereka akan memberi pelajaran kepada orang yang mula-mula
menyebarkan berita menyakitkan itu. Ada
informasi yang mengatakan bahwa
seseorang dari kota P-lah yang mula-
mula bercerita tentang hal itu. Namun
sebelum mereka bertemu dengan orang yang mereka cari, mereka melihat
Gus Muslih sedang
bersembahyang di masjid. Mereka
menunggu hingga Gus Muslih selesai
bersembahyang dan berzikir seperti
biasanya. Setelah Gus Muslih beranjak menuju serambi masjid, baru
mereka menghambur menghampiri
idola mereka itu.
"Aku tahu, kalian pasti ingin tahu kebenaran
dari berita tentang
anjing kan?" tebak Gus Muslih sambil
tersenyum penuh arti. "Ayo,
marilah kita duduk-duduk sebentar."
Semua pun duduk mengelilingi Gus Muslih
"Ya, Gus," kata salah seorang yang
mengambil tempat duduk persis di
depan Gus Muslih, "kami panas sekali
mendengarnya. Kami malah berniat
mengadakan pengajian khusus dan
mengundang Gus agar bisa menjelaskan kepada masyarakat untuk membantah isu
yang beredar itu."
Mengapa harus dibantah?" tanya Gus
Muslih kalem, membuat semua yang
merubungnya jengah. "Aku sekarang
memang sedang memelihara anjing."
"Hah!" hampir serempak semua
mengeluarkan desahan kaget.
"Mengapa kalian begitu kaget?" kata Gus
Muslih masih dengan nada
kalem. Kemudian Gus Muslih pun bercerita
kepada jamaah anak muda,
pengagumnya itu.
"Malam itu aku pulang dari mendatangi
undangan panitia untuk
berceramah halalbihalal di kota P. Aku
diantar oleh salah seorang
panitia dengan mobil kijang baru. Waktu
itu malam sepi dan hujan rintik-rintik. Hanya sesekali terdengar
petasan Lebaran di sana-sini.
Padahal katanya sudah dilarang, malam-
malam selarut itu kok ya masih
ada yang bermain petasan.
"Ketika kami sedang melintasi jalan raya
yang menuju ke kota kita
ini, aku melihat sosok makhluk kecil
bergerak-gerak di tengah jalan.
Langsung saya berteriak, 'Brenti, Mas!"
"Mobil pun berhenti. Aku turun
menghampiri makhluk kecil yang
menggelepar-gelepar. Ternyata masya
Allah, kulihat seekor anak anjing
yang tampak kesakitan, mengeluarkan
suara keluhan menyayat. Badannya basah kuyup dan kakinya berlumuran
darah. Tanpa pikir panjang aku
gendong anak anjing itu kubawa naik
mobil. Melihat aku masuk mobil
membawa anak anjing, tiba-tiba kulihat
orang yang punya mobil seperti melihat hantu. 'Lo, Pak!' teriaknya kaget
setengah mati 'Najis lo,
Pak!"'
"Aku bilang, ini lihat; kasihan kakinya luka
parah; mungkin ada mobil
yang menerjangnya lalu kabur. 'Ya tapi itu
najis Pak,' ulangnya jijik
sambil matanya terus memelototi anak
anjing yang kupeluk. Aku menduga dia takut anjing atau darahnya akan
mengotori mobil kijangnya yang
baru. Maka aku mencopot jasku dan
membungkus anak anjing yang terus
bergeletar dalam pangkuanku, kedinginan
campur kesakitan. Mata pengantarku masih saja terus berganti-
ganti mengawasiku dan anjing
yang kupangku dengan wajah tak percaya.
Dia tidak segera menjalankan
mobilnya kembali. Tiba-tiba aku menjadi
sebal. 'Sudah,' begini saja, kataku kemudian, 'biar aku turun di sini
saja. Silakan Anda kembali
dan sampaikan terima kasihku kepada
kawan-kawan panitia."
"Berkata begitu aku pun membuka pintu
dan meloncat turun sambil
memeluk si anjing kecil. Tak lama si
pengantar men-starter mobilnya
dan berbalik pulang. Sejenak aku dilanda
kemurungan sangat. Bukan karena aku ditinggalkan di tengah jalan di
malam geri mis; tapi
karena aku teringat ceramah halalbihalal di
kota P tadi.
"Baru beberapa jam lalu aku berbicara
kepada saudara-saudaraku di
sana tentang hikmah Syawal. Bulan
kemenangan setelah berpuasa sebulan
penuh di bulan suci Ramadan. Kukatakan,
antara lain kemarin pada Ramadan kita telah dapat menaklukkan
setan; menaklukkan nafsu
kebinatangan kita; dan kini menjadi fitri
kembali. Menjadi manusia
yang dimuliakan Tuhan melebihi makhluk-
makhluk-Nya yang lain. Makhluk berbudi yang memiliki tidak hanya akal
tapi juga hati nurani. Makhluk
yang diangkat menjadi kalifah-Nya untuk
menebar kasih sayang di
bumi."
Ketika sejenak Gus Muslih berhenti, tak
ada seorang pun dari mereka
yang asyik mendengarkan mengeluarkan
sepatah kata. Mereka semua
terpaku diam seperti kena sihir. Maka Gus
Muslih pun melanjutkan.
"Aku sedih ternyata Ramadan masih belum
sebenarnya berpengaruh hingga
ke sanubari kaum muslimin. Banyak yang
seperti merayakan kemenangan
kosong. Setiap saat, khususnya pada
Ramadan kemarin, mereka selalu membaca basmalah,
Bismillahirrahmanirrahim, menyebut asma
Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang;
namun bukan saja tidak tertulari
kasih sayang-Nya, malahan banyak yang masih memelihara kebencian
setan. Mestinya Syawal ini, mereka
menjadi segar kembali sebagai
manusia seperti pemimpin agung mereka
Nabi Muhammad Saw yang selalu
mencontohkan kasih-sayang kepada sekalian alam."
Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik
napas panjang, kemudian
seperti teringat sesuatu, meneruskan
bicaranya, "Alhamdulillah,
setelah aku rawat beberapa hari, anak
anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong,
tetanggaku memintanya dan aku
berikan dengan pesan agar dia
merawatnya dengan baik."
"Alhamdulillah!" gumam anak-anak muda
yang dari tadi setia
mendengarkan. Entah gumam syukur itu
mensyukuri kesembuhan si anjing
ataukah karena kiai idolanya itu kini sudah
tidak lagi memelihara anjing seperti digegerkan orang.
Rembang, 2002
[↑]