[↓]
Cerpen : Kang Amin
oleh : A. Musthofa Bisri
Seperti setiap kali Kiai Nur punya gawe,
untuk perhelatan kali ini pun jauh-jauh
hari orang-orang kampung sudah ikut
sibuk. Paling tidak, sibuk
membicarakannya. Soalnya, belum
pernah kiai pengasuh pesantren Tanwirul ‘Uqwul itu mengadakan
perhelatan tidak
geden-gedenan. Selalu meriah. Apalagi
ini
Walimatu ‘Urusy, resepsi pernikahan
puterinya yang terakhir. Tutup Punjen, istilah Jawanya. “Kira-kira grup hadrah
dan kasidah dari mana saja yang akan
Kiai Nur undang untuk meramaikan
pernikahan Ning Laila, ya?” “Kabarnya
dari berbagai kota. Bahkan grup Rebana
Ria yang sering tampil di tv itu juga akan ikut memeriahkan.”
“Qorinya saja dari Jakarta. Juara MTQ
Internasional.”
“Wah pasti ramai sekali, ya?!”
***
Malam hari, di kamarnya. Kang Amin
tiduran telanjang dada. Mencoba tidur,
tapi tidak bisa. Bukan hanya karena
terlalu capek dan udara sangat panas,
tapi terutama karena pikirannya yang
kalut. Dia memang agak capek. Seharian dia
harus ke sana kemari mengurus ini-itu
untuk keperluan perhelatan. Mulai
ngurus surat keterangan di kelurahan,
belanja, hingga pesan kursi dan
pengeras suara. Kang Amin memang sandaran ndalem,
keluarga kiai. Hampir semua urusan
rumah tangga ndalem dialah yang
dipercayai menanganinya. Tapi Kang
Amin tidak pernah mengeluh. Dia sudah
biasa melakukan pekerjaan ndalem dengan keikhlasan penuh. Baginya apa
yang dilakukannya untuk keluarga
ndalem adalah ibadah.
Sekarang ini pun dia seperti tidak
merasakan capek. Justru pikirannyalah
yang menyebabkan matanya tak mau terpejam. Peristiwa
demi peristiwa sejak dia ikut Kiai Nur
sebagai khadam, melayani beliau dan
keluarganya, muncul bagai gambar
hidup.
Kang Amin memang orang ndalem paling senior dan kepercayaan Kiai Nur.
Mendiang ibunya menitipkannya kepada
Kiai sejak ia masih kecil. Dia tidak
tinggal di gotakan bersama belasan
santri seperti yang lain. Tidak seperti
orang-orang ndalem lainnya, Kang Amin ditempatkan oleh Kiai Nur di kamar
khusus di samping ndalem. Sendirian.
Sehingga kapan saja
tenaganya diperlukan, tidak susah-
susah
mencarinya. Kiai Nur dan Ibu Nyai sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Umumnya anak-anak santri pun
menganggapnya keluarga ndalem.
Dia besar bersama Ning Romlah, puteri
sulung Kiai Nur. Di madrasah pun
sekelas terus, mulai Ibtidaiyah hingga tamat Aliyah. Dia lebih tua setahun dari
Ning Romlah. Meski dekat, meski
seperti saudara sendiri, Kang Amin
tetap tahu diri. Tak pernah nglunjak,
besar kepala, misalnya bersikap seperti
gus. Dia menyadari bahwa dia hanyalah khadam, pembantu. Inilah yang
menyebabkan seisi ndalem, khususnya
Ning Romlah, menyukainya.
Sebagai manusia, Kang Amin tentu saja
mempunyai perasaan tertentu terhadap
gadis yang hampir setiap hari bergaul dengannya. Apalagi gadis itu, Ning
Romlah, orangnya manis
dan tidak sombong. Dan yang paling
menarik hati Kang Amin ialah sikap
keibuannya. Kadang-kadang dia tergoda
untuk menyatakan perasaannya, terutama kalau kebetulan menjumpai
Ning Romlah sendirian.
Namun setiap kali dia batalkan niatnya
justru karena melihat ketulusan Ning
Romlah yang menganggapnya saudara
sendiri.
Sampai akhirnya Ning Romlah kawin
dengan Gus
Ali. Kang Amin memang sempat kecewa
dan uring-uringan sendiri. Tapi melihat
kebaikan Gus Ali, hatinya pun akhirnya
luluh juga. Seperti biasa, dengan ikhlas, Kang Amin menjadi “seksi sibuk” dalam
perhelatan pujaan hatinya itu.
Setelah Ning Romlah diboyong Gus Ali,
hati Kang Amin serasa kosong, seperti
orang ditinggal mati kekasih. Beberapa
saat dia terlihat sering termenung.
Namun hal itu tidak berlangsung lama
karena Ning Ummi, Ummi Salamah, adik Ning Romlah, seperti sengaja diutus
Tuhan untuk mengisi kekosongan yang
ditinggalkan kakaknya.
Ning Ummi yang pemalu, yang selama
ini –tidak seperti kakaknya, Ning
Romlah– jarang berbicara dengan Kang Amin, tiba-tiba seperti berubah. Dia
kelihatan tak lagi menjaga jarak.
Ketika tak lama kemudian menjadi
akrab dengan
Kang Amin, ternyata di mata Kang Amin,
Ning Ummi tidak kalah menarik dari
kakaknya. Apalagi Ning Ummi, meskipun
pada dasarnya pemalu, seringkali mampu mengeluarkan ungkapan-
ungkapan lucu yang tak terduga.
[↑] [↓]
Begitulah, semakin hari kedekatan Kang
Amin dengan Ning Ummi, meski tak
mencolok, semakin terasa, terutama
dalam hati Kang Amin sendiri. Bahkan
lebih dari Ning Romlah dulu, dengan
adiknya yang pemalu ini Kang Amin merasa menjadi pelindung yang selalu
ingin menjaganya. Boleh jadi ini
dikarenakan oleh sikap Ning Ummi yang
begitu “meng-adik” dan seperti selalu
minta perhatian.
Bila Kang Amin kebetulan banyak urusan di luar, misalnya, sehingga lama tak
muncul di ndalem, selalu saja ada orang
ndalem yang menyampaikan pesan Ning
Ummi: “Kang, sampeyan ditanyakan
Ning Ummi.” Atau bila bertemu sendiri
kemudian, Ning Ummi biasa menyambutnya dengan nada seperti
orang marah, “Kemana saja sih
sampeyan, seharian kok tak kelihatan
batang hidungmu?”
Bila kebetulan Kang Amin akan pergi ke
luar kota melaksanakan perintah Kiai, Ning Ummi biasa mengantar
kepergiannya dengan kalimat khasnya,
“Awas, jangan lama-lama lho, Kang!”
Ungkapan-ungkapan seperti ini bagi
Kang
Amin merupakan cermin dari kerinduan dan rasa sayang, sesuatu yang
membuat hatinya semakin tertambat
kepada puteri kedua kiainya ini.
Sampai suatu hari Kang Amin dipanggil
Kiai. Seperti biasa, tanpa pendahuluan
ini-itu, Kiai langsung menyampaikan
maksudnya.
“Min, kamu rombongan tamu yang dua
mobil kijang kemarin itu adalah keluarga
Kiai Makmun dari Jawa Barat. Kiai
Makmun melamar adikmu, Ummi,
untukputeranya yang baru lulus dari
Universitas Ummul Qura Mekkah.
Alhamdulillah, kami sudah menyepakati akad dan
walimahnya nanti bulan Syawal ini.”
Tak perlu diceritakan lagi betapa berita
ini
mengguncang perasaan Kang Amin.
Untung Kiai tidak memperhatikan
wajahnya yang menjadi pucat seketika.
Sambil beranjak dari kursi goyangnya, Kiai berpesan, “Kamu siap-siap. Semua
urusan sampai dengan hari pelaksanaan
akad dan walimah saya serahkan
kepadamu. Kan kamu sudah
berpengalaman saat adikmu, Romlah,
kawin dulu.”
Lama setelah Kiai pergi
meninggalkannya
sendiri untuk mengajar, Kang Amin
seperti
terpaku di tempat duduknya. Pikirannya
tak karuan. Sama atau lebih dari waktu Ning Romlah dilamar Gus Ali. Untuk
kedua kalinya Kang Amin terpukul
sekali. Mungkin sudah menjadi nasib
Kang Amin atau takdir memang
mengaturnya sedemikian rupa.
Ditinggalkan Ning Ummi, hanya
beberapa lama dia seperti linglung.
Setelah itu dia kembali seperti
sebelumnya. Dia kembali bersemangat
seperti mendapat obat kuat.
Kali ini “obat kuat”-nya adalah Ning Laila, puteri bungsu Kiai. Ning Laila yang
lincah. Ning Laila
yang semanak dan suka bicara ceplas-
ceplos.
Ah, mengapa selama ini aku tidak
memperhatikan kijang elok ini, pikir kang Amin. Mungkin perhatiannya
selama ini tersita habis oleh Ning
Romlah, kemudian oleh Ning Ummi,
hingga kurang menghiraukan si bungsu
yang
dianggapnya masih ingusan. Ah. Ning Laila yang lincah dan
menggemaskan
ini tidak hanya mampu mengisi
kekosongan hati Kang Amin, tapi sudah
membuat tekadnya bulat: pada saatnya
dia akan nekat matur kepada Kiai. Apa pun yang akan terjadi, dia harus
meminang Ning Laila. Harus. Sudah dua
kali aku kecewa, mudah-mudahan kali ini
datang keberuntunganku, batin Kang
Amin penuh harap.
Tapi, seperti kata pepatah kuno, untung
tak bisa diraih malang tak bisa ditolak.
Belum sempat Kang Amin matur kepada
Kiai, lagi-lagi geledek menyambar di
siang bolong. Kali ini lebih parah lagi,
karena geledek itu muncul langsung dari mulut Ning Laila.
“O, Ning Laila, sampai hati benar kau!”
jerit hati Kang Amin ketika si bungsu
centil itu tiba-tiba memintanya
mengarangkan undangan untuk
pernikahannya dengan Gus Zaim, sepupunya sendiri.
Di kamarnya Kang Amin tertawa kecut
sendiri.
***
Walimatul ‘ursy Ning Laila dan Gus Zaim
benar-benar luar biasa meriah. Semua
orang tampak sibuk. Tiga hari tiga
malam tamu-tamu terus mengalir,
berdatangan entah dari mana saja.
Kedua mempelai yang tampak sumringah menjadi pusat perhatian.
Keduanya seperti tak mengenal lelah
karena bahagia.
Kiai Nur sendiri, yang sebenarnya
kurang sehat badan, kelihatan berusaha
menyembunyikan
kepucatan wajahnya dalam senyum
yang
beliau tebarkan ke sana kemari.
Lalu di mana Kang Amin? Dalam hiruk-
pikuk
keramaian begitu, siapa pula yang ingat
Kang Amin?
***
Sejak pernikahan Ning Laila dengan Guz
Zaim, tak banyak yang bisa diceritakan
tentang keluarga ndalem Kiai Nur,
kecuali tentu saja peristiwa kewafatan
Kiai Nur sendiri beberapa bulan setelah
itu.
Tapi setengah tahun setelah kewafatan
Kiai Nur, ada peristiwa besar yang
benar-benar mengejutkan dan
menggegerkan.
Anda pun pasti tak percaya: Kang Amin
kawin dengan Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.
**
Rembang, 11 Juli 2002
[↑]