[↓]
Cerpen: Kang Kasanun
Oleh: A. Mustofa Bisri
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena
ilmunya.
Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren, paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai
Mabrur memperagakan dengan memperlihatkan jurus-jurus silat. “Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya komplit,” katanya terengah- engah.
“Yang saya peragakan itu tadi jurus
silat Cibadak. Jurus yang digunakan
Kang Kasanun membekuk tujuh begal
yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh
orang dan Kang Kasanun sendirian.
Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang berminat, setiap
malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat
dari berbagai cabang. Tapi mana
mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan
mempunyai ilmu cicak. Bila sedang
bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding.”
Ayah sendiri sering juga bercerita
tentang Kang Kasanun, tapi tidak
dengan memperagakannya seperti Kiai
Mabrur. “Nggak tahu, dia itu ilmunya
dari mana?” kata ayah suatu hari ketika
sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya jadug itu. “Di samping
menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya
aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan
bacaan aneh –campuran bahasa Arab dan
Jawa– dia bisa membuat tidur seiisi
mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia dihina
penjual lombok lalu lombok satu pikul
dimakannya habis. Dia tidak apa-apa,
tapi penjualnya kemudian yang murus.
Kata kawan-kawan dia juga bisa
memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam
sungai.”
“Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga
bisa menghilang, betul Yah?” tanya
saya.
Ayah tersenyum dan pandangannya
seperti menerawang ke masa lalunya.
“Pernah beberapa kawan diajarinya ilmu
halimunan entah apa. Pokoknya ilmu
untuk menghilang. Mereka disuruh
puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa.
Lalu ada satu malam ngebleng,
semuanya tidak boleh tidur sama sekali.
Ayah juga ikut.”
Ayah berhenti sejenak, tersenyum-
senyum sendiri, mungkin terbawa
kenangan masa lalunya, baru kemudian
melanjutkan ceritanya. “Dari sekian
orang yang ikut program halimunan itu,
hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari
itu, kami beramai-ramai, di bawah
pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang
ke toko Cina yang terkenal paling galak
di kota. Kang Kasanun berpesan siapa
pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat orang lengkap dengan
kepalanya, jangan sekali-kali
mengambil sesuatu. Karena tandanya
kalau kami sudah benar-benar hilang,
tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala
semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat
mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi
ambil barang seadanya dan yang murah-
murah saja.”
Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum
lagi, baru sejurus kemudian
melanjutkan. “Wah, saya lihat waktu itu
kawan-kawan ada yang mengambil
sabun, ada yang mengambil potlot,
sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru Quranmu itu, malah
sengaja mengambil manisan yang
terletak persis di depan Cina pemilik
toko yang galak itu. Anehnya, baik si
pemilik toko maupun pelayan-
pelayannya, seperti tidak melihat apa- apa. Setelah mengambil barang-barang
itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja
dan tak ada yang menegur. Saya yang
malah ditanya Kang Kasanun, kenapa
saya tidak mengambil apa-apa? Saya
menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko.
Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun
sendiri, saya tidak berani mengambil
apa-apa. ’Sampeyan kurang mantap sih!’
komentar Kang Kasanun. Memang terus
terang, waktu itu –sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu–
saya tidak percaya ada ilmu halimunan,
ada orang bisa menghilang.”
“Ada tamu ya, Bu?!” tanyaku kepada
ibuku yang sedang sibuk membenahi
kamar tamu.
“Ya,” jawab ibu tanpa menoleh, “Kawan
lama ayahmu di pesantren. Beliau akan
menginap beberapa malam. Mungkin
mau kangen-kangenan sama ayahmu.
Dengar itu, tawa mereka.”
“Ya, asyik benar tampaknya,” timpalku.
“Tamu dari mana sih, Bu?”
“Kata ayahmu tinggalnya sekarang di
luar Jawa. Namanya Kasanun atau
siapa?!”
“Kasanun?” tanya aku setengah
berteriak
[↑] [↓]
“Ee, jangan berteriak!” bisik ibu. Tapi
aku sudah bergegas meninggalkannya.
Dari gorden jendela aku mengintip ke
ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-
ragu. Tamu ayah tidak seperti yang aku
bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat kecil sekali di depan ayahku yang
bertubuh besar. Kurus lagi. Ah, jangan-
jangan ini bukan Kasanun sang pendekar
yang sering diceritakan Kiai Mabrur.
Masak kerempeng begitu. Tapi setelah
nguping, mendengar pembicaraan ayah dan tamunya itu sebentar, aku menjadi
yakin memang itulah sang Superman,
Kang Kasanun. Apalagi tak lama
kemudian Kiai Mabrur datang dan saling
berpelukan dengan si tamu. Nanti
malam, aku harus menemuinya, kataku mantap dalam hati. Aku harus
mendapatkan salah satu ilmu
hikmahnya.
Kebetulan sekali, malam ketika ayah
akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan
katanya, “Kenalkan, ini kawan ayah di
pesantren, Kang Kasanun yang sering
ayah ceritakan! Kawani dulu beliau
sementara ayah mengaji.”
Begitu ayah pergi, aku segera menjabat
tangan orang yang selama ini aku
idolakan. Beliau menerima tanganku
dengan menunduk-nunduk penuh
tawadluk.
“Gus, putra ke berapa?” tanyanya
dengan suara lembut.
“Nomor dua, Kiai!” jawabku sambil
terus mengawasinya.
“Jangan panggil saya kiai!” katanya
bersungguh-sungguh. “Saya bukan kiai.
Saya memang pernah mondok di
pesantren bersama ayahanda Gus, tapi
tidak seperti ayahanda Gus yang tekun
belajar. Saya di pesantren hanya main- main saja.”
Aku tidak begitu menghiraukan apa yang
beliau katakan, aku sudah punya rencana
sendiri dari tadi. Mengapa harus
ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya
berdua. Kapan lagi?
“Bapak Kasanun,” kata saya sengaja
mengganti sebutan kiai dengan bapak,
“sebenarnya saya sudah lama
mendengar tentang Bapak, baik dari
ayah maupun yang lain. Sekarang
mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah kepada
saya barang satu atau dua dari ilmu
hikmah Bapak.”
Mendengar permohonan saya, tiba-tiba
tamu yang sejak lama aku harapkan itu
menangis. Benar-benar menangis sambil
kedua tangannya menggapai-gapai.
“Jangan, jangan, Gus! Gus jangan
terperdaya oleh cerita-cerita orang
tentang bapak. Apalagi kepingin yang
macam-macam seperti yang pernah
bapak lakukan. Biarlah yang menyesal
bapak sendiri. Jadilah seperti ayahanda saja. Belajar. Ngaji yang giat. Dulu
ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan
kegilaan masa muda bapak, tapi gagal.
Mengapa? Bapak rasa karena ayahanda
memang tidak serius. Beliau hanya
serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah bapak
dan lihatlah ayahanda Gus! Ayahanda
Gus menjadi kiai besar, sementara
bapak lontang-lantung seperti ini.
Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan
bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi
dukun. Ini masih mendingan, ada yang
malah menggunakan ilmu itu untuk
menipu masyarakat dengan mengaku-
aku sebagai wali dan sebagainya. Orang
awam yang tidak tahu, mana bisa membedakan antara karomah dan ilmu
sulapan seperti itu?”
Aku tidak bisa ceritakan perasaanku
melihat orang yang selama ini kukagumi
menangis. Masih terdengar sesekali
isaknya ketika beliau melanjutkan.
“Ayahanda dan Kiai Mabrur pasti tak
pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati seorang singkek tua. Karena
memang bapak tak pernah
menceritakannya kepada siapa pun.
Sekarang ini bapak ingin
menceritakannya kepada Gus. Mau
mendengarkan?”
Saya hanya bisa mengangguk.
“Pernah dalam suatu perjalanan bapak,
bapak kehabisan sangu. Bapak pun
mampir ke sebuah toko milik seorang
singkek yang sudah tua sekali. Begitu
masuk toko, bapak rapalkan aji
halimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada tak ada yang bisa
melihat bapak. Bapak langsung menuju
ke meja si singkek tua yang terlihat
terkantuk-kantuk di kursi tingginya.
Pelan-pelan aku buka laci mejanya,
tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua tidak
bergerak. Namun begitu tangan bapak
akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba
tangan keriput si singkek tua
memegangnya dan langsung seluruh
tubuh bapak lemas tak berdaya.
’Ilmu begini, kok kamu pamel-
pamelkan,’ katanya hampir tanpa
membuka mulut. “Ini nyang kamu
peloleh sekian lamanya belajal, he?!
Kasihan kamu olang! Ilmu mainan anak-
anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa yang
nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil
sama olang-olang bodoh dan olang-
olang jahat saja ha! Ada olang pintel
kagum sama kamu olang? Ada? Siapa?
Olang hidup apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau
bisa buat olang lain. Cali senang sendili,
jangan bikin susah olang lain ha!’
Pendek kata, habis bapak dinasehati.
Setelah itu bapak dikasih uang dan
disuruh pergi. Sejak itulah bapak tidak
pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila
bapak. Nasihat yang bapak dapat dari
singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan apa yang lama bapak
renungkan tentang kehidupan bapak,
tapi bapak selalu ragu.”
Pak Kasanun memegang kedua
tanganku penuh sayang. Katanya
kemudian, “Kini bapak sudah mantap.
Jalan yang bapak tempuh kemarin salah.
Mestinya sejak awal bapak mengikuti
jejak ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah jejak ayahanda dan
jangan mengikuti jejak bapak ini.
Carilah ilmu yang bermanfaat bagi diri
Gus dan bagi sesama!”
Aku tidak sempat memberi komentar
apa-apa karena keburu datang Kiai
Mabrur dan beberapa tamu kawan
lamanya yang lain. Tapi aku masih
mempunyai banyak waktu untuk
merenungkan nasihatnya. (*)
Rembang, 29 September 2002
[↑]