[↓]
Cerpen : Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi
Oleh : A. Mustofa Bisri
Saat pamit dua minggu yang lalu,
suaminya berjanji akan pulang sebelum
lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu
hari dan belum ada kabar berita dari
suaminya itu. Hatinya jadi gelisah.
Sebetulnya suaminya pergi seminggu- dua minggu sudah biasa. Selama ini dia
sama sekali tidak pernah merasa
gelisah. Tapi ini menjelang lebaran.
Selama ini mereka selalu berlebaran
bersama. Mungkin juga berita-berita
yang selalu didengarnya, turut mempengaruhi batinnya.
Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang bisa saja diciduk aparat. Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti beberapa orang yang dicurigai polisi itu, dia juga tidak begitu mengetahui kegiatan suaminya di luaran. Selama ini, sebagai orang yang berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia merasa tidak pantas bila bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya bilang bisnis, itu sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis apa. Tapi sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.
Sehabis menidurkan anak semata
wayangnya, Siti sembahyang Isya’.
Tidak seperti biasanya, kali ini doanya
panjang sekali. Semua doa yang
dihafalnya dibaca semua, bahkan
ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia pernah mendengar dari seorang kiai,
doa menggunakan bahasa ibu, terasa
jauh lebih khusyuk. Ternyata benar. Air
matanya sampai berlelehan saat dia
meminta keselamatan suaminya.
Dia teringat semua kebaikan suaminya
yang selama ini tidak begitu ia
perhatikan. Bicaranya yang selalu
lembut kepadanya. Jika pulang dari
bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak
lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang,
suaminya tidak pakai hitungan.
Seringkali, belum sempat dia meminta,
suaminya seperti sudah tahu dan
langsung memberikan uang yang ia
perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut membantunya;
tidak hanya momong anak, tapi juga
mencuci dan di dapur.
Siti tersenyum sendiri, teringat ketika
suaminya berlelelahan air matanya saat
membantunya merajang bawang merah.
“Ya Allah, lindungilah suamiku!
Jauhkanlah dia dari segala mara
bahaya!”
Ketika kemudian Siti merebahkan
badannya di sisi anaknya yang pulas, dia
masih terus berzikir. Tiba-tiba
terdengar suara orang menggedor-
gedor pintunya. Buru-buru Siti meloncat
turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa
kagetnya ketika baru saja dia membuka
pintu, beberapa orang berhamburan
masuk. Semuanya berwajah waspada
atau lebih tepatnya angker.
“Kami petugas,” kata salah seorang di
antara mereka, “Kami mendapat
perintah mencari suami Anda. Anda istri
Mat Soleh?”
Siti hanya mengangguk asal
mengangguk. Pikirannya tak karuan.
Ketika dilihatnya orang-orang itu
menyebar ke seluruh ruang rumahnya,
yang terpikir oleh Siti hanyalah anaknya
yang sedang tidur. “Tolong jangan terlalu berisik!” pintanya, “anak saya
baru saja tidur.”
Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya,
Intan, anaknya yang baru berumur lima
tahun itu sudah keluar sambil menangis,
memanggil-manggilnya. Siti segera
menghambur memeluk buah hatinya itu
sambil berusaha menenangkannya. “Bu, takut! Siapa mereka ini, Bu?” tanya si
anak masih sesenggukan.
“Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang.
Bapak-bapak ini petugas yang sedang
mencari sesuatu.” Siti asal menjawab.
“Bapal-bapak inilah yang sering ibu
ceritakan sebagai pelindung-pelindung
kita.”
[↑] [↓]
Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi
rumah. Tak ada satu benda pun yang
selamat dari pemeriksaan mereka.
Bahkan grobok tempat makanan pun
mereka udal-udal, entah mencari apa?
Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang suaminya. Kapan kenal, kapan
kawin, bagaimana kelakuannya selama
ini; dan kapan terakhir bersama
suaminya. Semua pertanyaan dijawab
Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka cari,
seorang di antara mereka pun memberi
isyarat pergi. Namun sebelumnya dia
masih sempat mengatakan kepada Siti
bahwa mereka akan datang lagi.
Begitu mereka keluar, Siti buru-buru
menutup pintunya sambil berdoa
semoga mereka tidak berubah pikiran
dan balik lagi. Dia kembali menidurkan
anaknya dan berbaring di sampingnya
dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi.
Suaminya dicari polisi. Bagaimana
mungkin. Seingatnya, suaminya tidak
pernah bohong dan menyembunyikan
sesuatu kepadanya. Kalau benar dugaan
polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar biasa. Atau dia yang
terlalu lugu sebagai istri, sehingga
suaminya merahasiakan sesuatu selama
ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya.
Jadi selama ini suaminya pergi tidak
untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega
benar kau mendustaiku.
Besok paginya, koran-koran memuat
berita tentang temuan baru polisi
dengan huruf besar di halaman depan.
“Polisi Menemukan Tokoh Intelektual
Pengeboman Bali”; “Diduga Otak
Pengeboman Bali Berinitial MS”; “Polisi Sedang Mencari Mat Soleh, Otak
Pengeboman di Bali”. Semua
menceritakan pernyataan dari Tim
Investigasi yang mengatakan bahwa
berdasarkan penyelidikan terhadap para
tersangka, telah ditemukan tokoh intelektual pengeboman di Bali yang
selama ini dicari-cari. Diceritakan juga
bahwa polisi sudah melakukan
penggerebekan di rumah tersangka,
namun tidak menemukan tersangka
yang dicari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka juga telah digeledah,
namun polisi tidak menemukan apa-apa.
Siti tidak bisa membendung tangisnya.
Sambil mengelus-elus anaknya, dia
terus mengucap doa, “Ya Tuhan,
selamatkan suamiku! Selamatkan
suamiku!” Tiba-tiba dirasanya ada
seseorang yang memeluknya dari belakang.
“Hei, ada apa ini?” Terdengar suara
lirih, “Ada apa dengan suamimu? Ini
suamimu telah datang, sayang. Kenapa
pintu tidak dikunci? Sengaja
menungguku, ya? Lihat. Seperti janjiku,
aku datang sebelum lebaran.”
Siti kaget. Dibalikkan tubuhnya dan
masya Allah, dilihatnya suaminya
tersenyum dengan lembut. Dipagutnya
suaminya dan diciuminya kedua pipinya
habis-habisan. Meski bingung, suaminya
hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya yang tidak seperti
biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau
mungkin karena merasa bahagia karena
dia menepati janji dan mereka bisa
berlebaran bersama.
Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika
suaminya bertanya ada apa, Siti tidak
menjawab. Hanya terus tersenyum-
senyum sendiri. Juga ketika suaminya
keluar akan ke kamar mandi, Siti masih
tersenyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur, Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu!
(*)
Rembang, akhir Ramadan 1423 H
[↑]