[↓]
Cerpen : Mbah Sidiq
Oleh : A Mustofa Bisri
BERITA tentang Mbah Sidiq sudah sampai
ke daerah kami. Entah siapa
yang mula-mula menyebarluaskannya.
Yang jelas, kini kebanyakan
penduduk-sebagaimana penduduk di
beberapa daerah lain-sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meski belum pernah
bertemu dengan orang yang
dianggap istimewa itu. Memang ada
beberapa di antara mereka yang
mengaku mengenalnya secara pribadi,
bahkan mengaku sudah menjadi orang dekatnya. Sering dibawa-bawa pergi
keliling. Bila si Mbah
datang ke daerah kami, selalu singgah ke
rumah mereka. Dari mereka
inilah, nama Mbah Sidiq "melegenda",
termasuk di daerah kami.
Mereka yang mengaku dekat dengan Mbah
Sidiq ini, paling suka cerita
atau ditanya tentang Mbah Sidiq. Cerita
mereka selalu mengasyikkan,
terutama karena cara mereka bercerita
memang benar-benar meyakinkan. Seperti Nasrul-seorang "aktivis" tempat
kami-yang memang biasa
mengantar orang ke tempat Mbah Sidiq itu.
Wah, dasar pintar omong,
kalau Nasrul cerita tentang Mbah Sidiq,
bisa membuat orang lupa acaranya sendiri.
"Percaya tidak, saya pernah diajak beliau
ke Makam Sunan Ampel di
Surabaya," kata Nasrul suatu hari di
warung wak Rukiban yang biasa
dibuat mangkal Nasrul dan kawan-kawan,
"Saya pikir beliau akan berdoa di makam wali itu, ternyata tidak. Tahu apa
yang beliau kerjakan di
makam?" Nasrul sengaja berhenti
sejenak, seperti menunggu jawaban
dari orang-orang yang asyik
mendengarkannya
Apa?" tanya beberapa orang serempak.
Nasrul tersenyum. Senang pancingannya
bersambut. Dia menghirup
kopinya dulu sebelum kemudian
melanjutkan, "Tahu tidak? Beliau
berdiskusi dengan Sunan Ampel serius
sekali."
"Berdiskusi?" kini serempak semua yang
mendengarkan bertanya.
Nasrul tampak semakin senang. "Ya,
berdiskusi laiknya dua tokoh yang
sedang membahas suatu masalah
penting."
"Dari mana kau tahu beliau sedang
berdiskusi dengan Sunan Ampel?"
tanya Pak Manaf, guru SD yang mulai
tertarik dengan tokoh yang
menjadi buah bibir itu.
"Saya tidak tahu, wong saya duduk di
belakang beliau. Memang saya
sendiri tidak mendengar suara Mbah
Sunan, tapi dari bicara dan sikap
Mbah Sidiq, jelas beliau sedang
berdiskusi."
"Apa yang mereka diskusikan?" tanya Mas
Slamet pemborong, benar-benar
ingin tahu.
"Saya tak tahu persis. Tapi, saya dengar
Mbah Sidiq berkali-kali
mengatakan, 'Eyang harus menolong
mereka!' Tentu saja saya tidak
berani bertanya kepada beliau siapa yang
beliau maksud dengan 'mereka'. Tapi ketika
meninggalkan makam, beliau berkata
kepada saya, 'Sudah, beres sekarang!
Orang-orang itu suka berbuat
seenaknya sendiri. Nanti kalau ada
masalah, awak pula yang disuruh memecahkan. Dasar politikus!' Dari sini,
saya menduga agaknya beliau
mendiskusikan soal politik dengan Mbah
Sunan."
"Siapa Srul, orang-orang yang digerundeli
Mbah Sidiq dan disebut
politikus itu?" tanya Mas Slamet lagi.
"Persisnya saya tak tahu. Soalnya banyak
orang gede dari Jakarta yang
sowan Mbah. Mulai dari pengusaha besar,
anggota DPR, sampai menteri.
Bahkan ada jenderal yang sering sowan
sendirian. Saya hanya tahu beberapa di antara mereka, karena saya
sering melihat mereka di TV."
"Ngapain saja orang-orang gede itu
datang ke Mbah Sidiq?"
"Lo, orang-orang gede itu kan banyak yang
dipikir dan zaman akhir ini
banyak hal yang tidak bisa dipecahkan
hanya dengan pakai otak. Mereka
itu kalau sudah buntu pikirannya, datang
ke Mbah minta fatwa dari la ngit."
"Ngomong-ngomong, apa benar, Srul, Mbah
Sidiq itu suka menggigit
tamunya?" tanya Wak Rukiban tiba-tiba.
"Ah, ya nggak mesti, Wak. Lihat-lihat
tamunya. Biasanya, Mbah
menggigit telinga orang yang wataknya
bandel. Seperti Parman yang
suka bikin jengkel ibunya itu kan pernah
kena gi git. 'Telinga gunanya untuk mendengar!' kata Mbah
waktu itu sehabis menggigit
telinga Parman. Tapi ada juga tamu yang
beliau ciumi atau beliau
kasih duit."
"Katanya Mbah Sidiq tidak pernah salat
jumat, Kang Nasrul?" tanya
Haji Kusen yang dari tadi mendengarkan
sambil menyantap nasi rawon.
"Lo, Mbah Sidiq kan tidak seperti kita. Mbah
kalau jumatan di Makah.
Sampean tidak pernah mendengar cerita
Haji Narto yang bertemu Mbah di
Pasar Seng Makah? Padahal tahun itu Mbah
Sidiq tidak naik haji. Tanyakan kepada istri-istri Mbah yang
selalu menerima oleh-oleh dari
beliau! Kadang-kadang Mbah memberi
oleh-oleh kalung, kadang akik
fairuz, kadang kurma madinah. Pokoknya
setiap kali, Mbah membawa buah tangan dari Tanah Suci untuk istri-istrinya.
Padahal, setahu orang-
orang, Mbah tidak ke mana-mana."
"Berapa sih istri Mbah Sidiq, Srul," tanya
Wak Rukiban sambil
meletakkan piring pisang goreng yang
masih mengepul.
"Seandainya boleh lebih, ya bisa banyak,
Wak. Wong banyak yang
ngunggah-unggahi, kepingin mendapat
berkah. Tapi kan kuotanya cuma
empat. Jadi Mbah cuma punya empat!"
"Tapi apa benar dia itu kiai?" tiba-tiba Pak
Guru Manaf kembali
bertanya, "Saya dengar dia itu tidak bisa
mengaji?"
Nasrul kelihatan tidak suka dengan
pertanyaan Pak Manaf. Apalagi, dia
menggunakan kata ganti "dia" untuk orang
yang sangat dihormati dan
tidak menggunakan "beliau". Maka dengan
nada jengkel yang tidak ditutup-tutupi, Nasrul berkata menjawab,
"Memang orang yang tidak
tahu ilmu hakikat pasti bingung melihat
Mbah Sidiq. Mbah Sidiq itu-
tidak seperti kau-bisa pagi tidak tahu apa-
apa, malam harinya tiba- tiba sangat alim melebihi kiai mana pun!"
"Ah masak iya, Srul?" tukas Pak Manaf
tidak percaya.
"Wow kamu sih. Dasar guru sekolah
umum!" Nasrul mulai benar-benar
marah ceritanya tak dipercayai, "Beliau itu
setiap hari ketamuan
Syeikh Abdul Qadir Jailani. Jangan
sembarangan kau! Kualat baru tahu! Saya menyaksikan sendiri bagaimana Mbah
berdebat dengan kiai, dengan
dosen, dengan orang-orang pintar. Mereka
semua tidak berkutik di
hadapan Mbah."
***
[↑] [↓]
"Beberapa bulan kemudian di warung wak
Rukiban.
"Ada yang tahu kabarnya Nasrul?" tanya
Wak Rukiban kepada para
langganannya, sambil menyodorkan kopi
pesanan, "sudah lama sekali dia
tidak ngopi kemari."
"Mungkin sedang keliling dengan
Mbahnya," sambut Pak Manaf.
"Jangan-jangan sakit?" celetuk Mas
Slamet pemborong.
"Nggak kalau sakit," sahut Haji Kusen,
"kemarin dulu saya ke
rumahnya. Kata orang yang nungguin
rumahnya dia sedang keluar kota.
Istrinya malah sudah duluan pergi.
Mungkin Nasrul nyusul istrinya."
"Orang yang nungguin rumahnya nggak
bilang mereka ke mana, urusan
apa?" tanya Mas Slamet.
"Wah saya tidak tanya macam-macam,"
jawab Haji Kusen, "wong saya
datang hanya karena ingin ketemu Nasrul
yang sudah lama tidak
kelihatan batang hidungnya. Nggak ada
urusan lain."
"Pastilah seperti biasa, Nasrul ndherekke
Mbah Sidiq!" tegas Pak
Manaf yakin.
"Nggak," sela Wak Rukiban, "kalau pergi
mengikuti Mbah Sidiq paling
lama seminggu dua minggu. Malah cerita
dia kemudian yang berminggu-
minggu."
"Bagaimana kalau nanti kita ramai-ramai ke
rumahnya?!" usul Mas
Slamet.
Belum lagi semuanya menyampaikan
persetujuan, tiba-tiba masuk orang
yang sedang mereka bicarakan.
"Wah panjang umur kau, Srul!" sambut
Wak Rukiban gembira, "baru saja
kami membicarakanmu."
Semuanya pun berdiri menyalami seperti
menyambut orang penting
datang. Nasrul sendiri kelihatan tidak
seperti biasanya. Badannya
tampak kurus. Wajahnya pucat. Dia
menyalami kawan-kawannya tanpa sema ngat. Bahkan secuil senyum pun tak
tersungging di bibirnya. Duduknya
pun seperti terempas begitu saja. Dia
mengambil napas panjang, baru
kemudian berkata lirih, "Kopi, Wak!"
Tentu saja kawan-kawannya heran. Mereka
saling berpandangan satu sama
lain. Bertanya-tanya dalam diam. Tapi
seperti sepakat, mereka tidak
berkata apa-apa, menunggu Nasrul sendiri
yang mulai bercerita seperti biasanya. Ketika Wak Rukiban
menyodorkan kopi pun hanya
mengucap, "Silakan, Srul!"
"Terima kasih, Wak!" kata Nasrul lirih. Dia
kemudian menuang kopi
pelan-pelan ke lepeknya. Kawan-kawannya
hanya mengawasinya. Mereka
melihat tangan Nasrul gemetar hingga
menumpahkan kopi di sekitar lepeknya, tapi mereka semua tetap diam.
Narsul menghirup kopinya
sambil memejamkan kedua matanya,
seperti ingin meresapkan sari kopi
ke dalam dirinya. Begitu habis kopi di
lepek diminumnya, dia menuang kembali dan menumpahkan lagi di sekitar
lepek. Setelah meminum kopi
yang kedua kalinya, tangannya merogoh
saku dan mengeluarkan rokok
kreteknya. Dengan gemetar dilolos
sebatang dan diselipkan di mulutnya. Tanpa berkata-kata, Pak Manaf
yang ada di dekatnya
menyalakan korek untuknya. Seperti ketika
meminum kopi, Nasrul
kemudian mengisap rokoknya sambil
memejamkan mata.
Dua-tiga isapan, baru kemudian Nasrul
memandangi satu-satu wajah
kawan-kawannya, seolah-olah dia baru
menyadari kehadiran mereka. Pak
Manaf sudah hampir tidak sabar
menunggu. Sudah hampir membuka mulut. Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti
bukan dari mulutnya sendiri.
Lirih tapi terdengar sangat keras dan
tajam bagai sembilu, "Sidiq
Bajingan!"
Hampir semua mulut kawan-kawannya
ternganga seperti merekalah yang
terkena tikam umpatan Nasrul itu. Belum
hilang tanda tanya mereka,
Nasrul sudah bergumam lagi, "Wali apa
macam itu? Seperti termakan tahi aku menyesal ikut membesar-
besarkan namanya. Bangsat! Penipu!"
Semakin serak suara Nasrul, kemudian
pecahlah tangisnya.
Diletakkan kepalanya di atas meja tanpa
menghiraukan tumpahan kopi
yang mengotorinya. Spontan Pak Manaf
meletakkan dan menepuk-nepukkan
tangan ke pundaknya penuh iba.
"Sabar, Srul. Apa yang terjadi?
Ceritakanlah kepada kawan-kawanmu
ini. Tumpahkan semua isi dadamu, biar
lega!"
"Maaf, Kang," Nasrul mencoba mengangkat
kepalanya kembali, "aku
kurang sabar bagaimana? Semua yang
diminta-bahkan banyak yang tidak
diminta-sudah aku berikan. Sawah dan
sapiku kuserahkan kepadanya. Sepeda motor kujual untuk
menyenangkannya. Lo kok tega-teganya
membawa kabur istriku! Masya Allah!
Manusia laknat macam apa itu!"
dipukulkannya tangannya ke meja, hingga
menggulingkan beberapa cangkir dan gelas.
Semuanya terkesiap. Semuanya seperti
tak percaya apa yang mereka
dengar. Semuanya merasa seperti tikaman
duka yang mengenai Nasrul,
tembus ke dada-dada mereka sendiri.
***
Rembang, 6 Oktober 2002
[↑]