[↓]
Cerpen : Mubalig Kondang
Oleh : A Mustofa Bisri
KETIKA jauh-jauh hari istriku
menginformasikan bahwa di kota kami
akan kedatangan seorang dai kondang dari
Ibu Kota, aku tak begitu
memerhatikan. Waktu itu pikiranku sedang
mengembara ke soal-soal lain. Hari ini dia mengingatkan lagi.
"Pak, nanti malam Sampeyan ikut ke kota
apa tidak?" katanya sambil
mendekati saya yang sedang duduk
termenung di lincak*) depan rumah.
"Ada apa ke kota?" tanyaku malas.
"Lo, Sampeyan ini bagaimana sih; kan nanti
malam ada pengajian
akbar?!" dia jatuhkan pantatnya yang
tambun ke lincak bambu hingga
menimbulkan suara berderak; aku sedikit
bergeser sambil berdoa mudah- mudahan lincak kesayanganku tak ambrol.
"Orang sedesa upyek**)
membicarakan dai kondang Ibu Kota yang
akan mengisi pengajian nanti
malam, kok Sampeyan tenang-tenang saja.
Makanya Sampeyan itu jadi orang mbok kumpul-kumpul. Jangan
mengurung diri di rumah saja,
seperti katak dalam tempurung!"
Istriku berhenti sebentar, merogoh dunak
di bawah lincak, meraup biji-
biji jagung dan menebarkannya ke
halaman. Tak lama ayam-ayam
peliharaannya ribut, riuh rendah suaranya,
berebut jagung. Disenggolnya pundakku dengan
pundaknya sendiri yang gempal hingga
aku
hampir terjengkang sambil berkata
melanjutkan omelannya:
"Ustaz makin bikin rombongan nyewa colt.
Ibu-ibu juga bikin rombongan
sendiri. Bu Lurah menyiapkan bus mini dan
truk. Tadi saya sudah
daftar dua orang. Kalau Sampeyan enggak
pergi, biar nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar, mubalignya
dari Jakarta. kita mesti
datang agak gasik supaya dapat tempat."
Istriku --seperti kebanyakan warga
kampung yang lain-- mungkin maniak
pengajian. Di mana saja ada pengajian --di
kota kecamatan atau di
desa-desa-- dia mesti mendengar dan
datang menghadirinya. Saya tak tahu apa saja yang diperolehnya dari
pengajian-pengajian yang begitu
rajin ia ikuti itu. Nyatanya, kelakuannya --
seperti kebanyakan warga
kampung yang lain-dari dulu tidak
berubah. Kesukaannya menggunjing orang tidak berkurang. Hobinya bohong
juga berlanjut. Senangnya
kepada duit malah bertambah-tambah.
Seperti juga Haji Mardud yang
sering menjadi panitia pengajian itu,
sampai sekarang tak juga berhenti merentenkan uang. Si Salim dan
Parman yang rajin mendatangi
pengajian juga masih terus rajin merekap
togel. Imron itu malah
sambil ngaji sambil nggodain cewek-
cewek. Lalu apa gunanya pengajian- pengajian itu jika tak mengubah apa-apa
dari perilaku masyarakat
pengajian?
Mubalig kondang dari Ibu Kota? Apa
istimewanya? Mubalig di mana-mana
ya begitu itu. Tidak sedikit dari mereka
yang cuma pinter ngomong;
ngompor-ngompori; menakut-nakuti;
melawak. Ngapusi masyarakat yang awam. Kalau hanya tidak konsekuen --
mengajak baik tapi diri sendiri
tak bisa melakukannya-- masih lumayan. Ini
tidak, mengajak baik tapi
diri sendiri justru melakukan yang
sebaliknya. Menganjurkan hidup sederhana, diri sendiri bermewah-mewah.
Menganjurkan kerukunan, diri
sendiri provokator. Bahkan ada yang
keterlaluan. Dengan berani
menggunakan ayat-ayat Quran dan hadis
Nabi untuk kepentingan politik praktis dan menyebar kebencian. Bangga
jika agitasinya melecehkan
pihak lain --sering kali malah pribadi--
ditepuki.
"Hei, Kang!" aku kaget, kembali istriku
menyenggolkan pundak-
gempalnya ke pundakku, sekali lagi aku
hampir terjengkang, "diajak
ngomong, malah bengong! Piye?
Berangkat apa enggak?"
"Sudahlah kau berangkat saja dengan
simbok!" kataku biar dia tidak
terus ngomel. Kalau enggak malas nanti
aku berangkat sendiri,
nyepeda."
"Ya sudah!" katanya agak ketus.
Diambilnya lagi segenggam jagung dan
disebarkannya ke arah ayam-ayam yang
memang seperti menunggu. Lalu
bangkit dari lincak, meninggalkanku
sendirian lagi. Alhamdulillah, aku bisa melamun lagi.
***
[↑] [↓]
Menjelang isyak rupanya istriku dan
simbok sudah berdandan. Begitu
selesai sembahyang langsung rukuh
mereka copot dan memperbaiki
sebentar dandanan mereka.
"Mau mengaji kok seperti mau mendatangi
ngantenan," kataku begitu
datang dari surau dan melihat mereka
sibuk membedaki muka mereka.
"Cerewet!" kata mereka hampir serempak
"Kalau makan, ambil sendiri di grobok!"
teriak istriku begitu
melewati pintu rumah. Dan,
ditinggalkannya aku sendirian. Kudengar
keriuhan dari kelurahan yang tak jauh dari
rumahku. Pastilah itu ibu- ibu sedang rebutan naik bus mini dan anak-
anak-anak muda rebutan naik
truk. Dari arah surau juga kudengar
kesibukan rombongan mau berangkat
ke kota. Mereka yang akan mendengarkan
--atau melihat atau sekadar kepingin tahu-- mubalig kondang dari Ibu
Kota.
Tak lama kemudian suasana menjadi sepi.
Rombongan-rombongan sudah
berangkat. Setelah makan, aku rebahkan
badanku di balai-balai,
berharap bisa tertidur, tapi mata tak mau
terpejam juga. Aku menyesal juga tadi tidak ikut, ketimbang bengong
sendirian begini. Kalau bosan
dengan pengajiannya, aku kan bisa jalan-
jalan, cuci mata. Terpikir
begitu, akhirnya aku pun bangkit.
Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku, dan kututup pintu rumahku.
Kukayuh sepedaku pelan-pelan menuju
kota. Aku toh tidak sedang
mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai
manusia dan yang kudengar hanya
sesekali lenguh sapi dan suara jengkerik.
Untunglah listrik sudah masuk desaku. Meskipun lampu-lampu
yang terpasang di pinggir jalan
hanya jarang-jarang dan tidak begitu
terang, cukup membantu juga.
Apalagi lampu berko sepedaku nyalanya
byarpet. Bersepeda malam-malam begini, aku jadi teringat Sudin, kawanku di
pesantren dulu yang suka
mengajakku balapan mengayuh sepeda
bila ngluyur bersama. Dia sering
dimarahi Pak Sahlan yang menyewakan
sepeda kepada santri-santri, karena sering merusakkan sepedanya. Di
mana kira-kira anak badung itu
sekarang?
Sudin anak orang kaya kota yang konon
sudah putus asa melihat
kelakuan anaknya dan terpaksa
'membuangnya' ke pesantren. Sering kali
dulu aku ditraktir Sudin nonton bioskop
dan makan-makan di restoran. Dan, tidak jarang pulangnya ke pesantren
sudah larut malam. Karena
sudah berkali-kali ditakzir, dihukum, sebab
nonton, aku pun lalu
menolak jika Sudin mengajak nonton. Aku
malu dengan kawan-kawan santri yang lain. Sudin sendiri sepertinya
berpedoman sudah telanjur
basah. Karena sudah terkenal sebagai
langganan takzir, dia pun cuek.
Menganggap takzir sebagai perkara biasa
yang tidak perlu ditakuti. Dia tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi
juga karena melanggar
banyak larangan dan menyalahi banyak
peraturan pesantren; seperti
berkelahi dengan kawan, membolos,
mengintip santri putri, dlsb. Berbagai macam bentuk takzir sudah
dicobanya, mulai dari membersihkan
kakus; membayar denda; mengisi kulah
masjid; dlsb. Rambutnya tak
sempat tumbuh, karena sering kena
hukuman gundul. Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan
mencuri kas pesantren.
"Eit!" hampir saja aku terjatuh. Akar pohon
asam di tepi jalan
membuat sepedaku oleng. Untung aku
segera bisa menguasainya.
Lamunanku buyar. Tapi aku bersyukur, tak
terasa kota sudah kelihatan dekat
Di pinggir jalan menuju alun-alun yang
kulalui, berderet-deret mobil
diparkir. Ada colt, ada bus, dan terbanyak
truk. Rupanya --melihat
nomor-nomor polisi berbagai kendaraan
itu-- mereka yang datang menghadiri pengajian, tidak hanya dari
dalam kota. Dari luar kota
juga banyak. Dari suara pengeras suara
yang sudah terdengar, aku tahu
ceramah mubalig kondang sudah mulai.
Dua orang anak muda gondrong tiba-tiba
menghadangku dan menyeret
sepedaku ke sebuah halaman yang di
depannya ada papan tulis
bertuliskan 'TITIPAN SEPEDA Rp1000'.
Untung di kantongku ada persis seribu rupiah. Kuulurkan satu-satunya
lembaran uang yang kumiliki itu
kepada salah seorang anak muda yang
kelihatan tidak sabar. Aku terus
ngeloyor menyibak kerumunan orang di
mana-mana. Termasuk mereka yang mengerumuni pedagang-pedagang yang
mremo menjual berbagai macam
makanan dan mainan anak-anak.
Luar biasa. Lautan manusia meluber ke
mana-mana. Suara pengeras suara
bergaung-gaung ke berbagai penjuru,
melantunkan pidato mubalig yang
berkobar-kobar dan sesekali menyanyi
atau menyampaikan lelucon- lelucon. Setiap kali disusul dengan
gemuruh teriakan dan tepuk tangan
hadirin.
Dari kejauhan mubalig itu sudah kelihatan,
karena panggung yang
tinggi dan lampu yang luar biasa
terangnya. Entah berapa watt saja.
Hanya beberapa puluh pengunjung di
bagian depan, di kanan-kiri panggung, yang duduk di kursi; lainnya
lesehan di rerumputan alun-
alun. Banyak ibu-ibu yang menggelar
selendangnya untuk tidur anaknya
yang masih kecil, bahkan bayi. Tapi, aku
tak melihat istriku dan simbok. Entah di mana mereka duduk. Aku
terus menerobos pelan-pelan
dan kadang harus melingkar-lingkar dan
berjalan miring di antara
pengunjung, agar bisa lebih dekat ke
panggung.
Semakin dekat, semakin jelas sosok
mubalig kondang yang dari kejauhan
suaranya menggelegar itu. Ternyata
tubuhnya sedang-sedang saja. Yang
membuat tampak gagah justru
pakaiannya. Dia mengenakan setelan baju koko, tapi tidak seperti yang biasa
dikenakan orang di kampungku.
Baju kokonya mengilap, mungkin dari
sutra. Di bagian leher dan
dadanya ada bordiran kembang-kembang
dari benang emas. Sorban yang disampirkan di pundaknya juga tidak
seperti umumnya sorban. Warna dan
coraknya serasi benar dengan setelan
bajunya. Ada dua cincin bermata
zamrud dan pirus, besar-besar, di jari-jari
manisnya. Penampilan mubalig kondang memang lain dengan
mubalig lokal yang biasa kami
saksikan. Bicaranya mantap. Gerakan
tubuh dan tangannya benar-benar
sejiwa dengan isi ceramahnya.
Dan, wajahnya.... Dan, wajahnya.... Nanti
dulu. Wajah itu seperti
sudah aku kenal. Tapi tak mungkin. Tak
mungkin! Masa dia? Tapi persis
sekali. Dahinya yang sempit itu, matanya
yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu, hidungnya yang bulat itu,
mulutnya yang lebar dan
seperti terus mengejek itu, dagunya yang
terlalu panjang itu, dan
telinganya yang lebar sebelah itu, ah tak
mungkin lain. Aku tak salah lagi, pastilah itu dia. Sudin!
Aku tiba-tiba kepingin mendengarkannya.
"Jadi sekali lagi, Saudara-saudara,
maksiat yang sudah merajalela itu
harus kita perangi! Juga kenakalan remaja
sekarang ini sudah sangat
mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi
kita yang akan datang bila kenakalan remaja itu tidak segera kita
tanggulangi sekarang juga.
Kalau di waktu muda malas, apa jadinya
bila sudah tua? Kere, saudara-
saudara! Kere! 'Tul enggak?!"
"Betuuul!! Kereee!!" teriak hadirin
serempak.
"Kalau di waktu muda sudah suka jambret,
apa jadinya bila sudah tua.
Apa, saudara-saudara? Ko... ko...!"
"Korupsiii!!!" sekali lagi hadirin berteriak
menyambutnya, disusul
tempik-sorak gegap gempita.
"Ya, korupsi!" ulangnya berwibawa.
Ah, Sudin, kau masih belum juga bisa fasih
melafalkan huruf 'r'
sampai sekarang.
Memang ajaib. Sudin kawan di pesantren
yang tadi baru saja datang di
lamunanku, kini --meski juga seperti tidak
nyata-- berdiri di
depanku. Apa tadi itu firasat? Baru
dilamun, tiba-tiba ketemu! Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantren
langganan takzir. Sudin yang
diusir karena mencuri uang kas pesantren.
Ah, siapa mengira kini jadi
mubalig kondang seperti itu. Bagaimana
ceritanya Sudin sampai memunyai karamah begitu besar? Bagiku
itu sungguh musykil.
Kalau ini nanti kuceritakan kepada orang-
orang kampung --kalau
kukatakan bahwa Almukarram KH Drs
Samsuddin, mubalig kondang yang
baru saja berceramah di alun-alun itu
adalah Sudin, kawan nakal saya di pesantren-- pasti tak ada yang percaya.
Istriku sendiri pun pasti
akan menertawakan. Lebih baik kuceritakan
kepadamu saja.
***
*)semacam balai-balai sederhana
**) ribut; sibuk membicarakan
[↑]