[↓]
Cerpen : Ndara Mat Amit
Oleh : A. Mustofa Bisri
Anak-anak kecil sangat takut dengan
lelaki itu.
Bukan saja karena tubuhnya yang tinggi
besar;
mukanya yang tak pernah tersenyum,
dan bibirnya yang dower, tapi terutama karena kebiasaannya yang aneh. Suka
mencaci dengan berteriak kepada siapa
saja yang dijumpainya. tak peduli
terhadap siapa saja –orang tua, anak-
anak, laki-laki, perempuan, orang biasa,
tokoh masyarakat– lelaki yang di kampung kami dipanggil Ndara Mat Amit
itu selalu bersikap kasar.
Caci maki baginya seperti salam saja.
Setiap ketemu orang, kata-kata pertama
yang keluar dari mulutnya adalah caci-
maki atau kata-kata tidak jelas maknanya yang rupanya dia
maksudkan juga sebagai cacian.
Mungkin karena itu, atau mungkin juga
karena tak tahu arti ndara, anak-anak
tidak ada yang memanggilnya Ndara,
hanya Mat Amit saja.
Semula aku sendiri juga hanya
memanggilnya Mat Amit, tapi setelah
dimarahi ibuku, aku ikut-ikut orang tua
memanggilnya Ndara. Tak ada seorang
pun yang tahu persis di mana
Ndara Mat Amit tinggal. Orang-orang hanya tahu
dia itu bukan penduduk asli, orang dari
luar kota, tapi punya banyak kenalan di
kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil
Ndara karena masih keturunan Nabi.
Hanya karena ia sering datang — hampir sebulan sekali, paling lama tiga bulan
sekali– banyak orang yang kemudian
mengenalnya.
“Mat Amit! Mat Amit!” begitu teriak
anak-anak bila
melihat sosok raksasa itu datang.
Dan anak-anak yang sedang asyik
bermain itu pun buyar; berlarian ke sana
kemari seperti gerombolan anak kijang
melihat harimau.
Di antara yang sering dikunjungi Ndara
Mat Amit adalah rumah kami. Kalau datang, ia
tidak pernah lupa mampir ke rumah.
Entah mengapa. Mungkin dia menyukai
ayahku yang memang ramah terhadap
setiap tamu. Ayah pernah menasihatiku:
menghormati tamu itu merupakan anjuran Rasulullah; jadi siapa pun tamu
kita, mesti kita
hormati. Muslim yang baik ialah yang
dapat
menundukkan rasa suka dan tidak
sukanya demi melaksanakan ajaran Rasulnya.
“Tapi Ndara Mat Amit sendiri tidak
ramah, Yah,”
selaku, “bahkan menakutkan!”
“Apa yang kau takuti? Dia itu manusia
biasa juga seperti kita,” kata Ayah menjelaskan.
“Dia kan tidak pernah mengigit orang.
Orang itu kan macam-macam tabiatnya.
Ada yang kasar, ada yang lembut. Ada
yang sopan, ada yang tidak. Kita sendiri
memang harus berusaha menjadi orang yang lembut dan sopan, tapi kan tidak
harus membenci mereka yang belum
bisa bersikap begitu. Dan ingat, cung
(cung, dari kacung = panggilan untuk
anak kecil); penampilan luar orang
belum tentu menggambarkan pribadinya, bahkan seringkali kita
terkecoh kalau hanya melihat
penampilan seseorang. Bukankah sering
kita melihat orang yang tampaknya
sopan dan halus, ternyata tabiatnya
suka menghasut.”
Entah karena nasihat Ayah atau mungkin
karena
sudah terbiasa, akhirnya aku sendiri –
tidak seperti banyak kawanku– tidak
begitu takut lagi dengan Ndara Mat
Amit. Memang dulu –dalam kesempatan berkunjung ke rumah– pernah aku
dipanggil Ndara Mat Amit, tepatnya
dibentak, hingga gemetaran.
“Hei, kamu, bajingan, kemari!”
Aku terpaku ketakutan.
“Setan kecil! Punya telinga, tidak?” teriaknya lagi. “Aku memanggilmu,
Bahlul!”
Aku pun ragu-ragu mendekat dengan
kewaspadaan penuh. Pikirku, kalau dia
macam-
macam, mau mengampar misalnya, aku sudah siap melarikan diri. Ternyata dia
merogoh saku jasnya yang kumal,
mengeluarkan beberapa uang receh,
dan memberikannya kepadaku.
“Ini, buat jajan kamu dan kawan-
kawanmu!” katanya kasar. “Goblok! Terima!”
Ragu-ragu aku menerima
pemberiannya.
“Lho, apalagi? kurang?” Dia merogoh
lagi sakunya dan memberikan lagi uang
receh kepadaku.
“Sekarang minggat!” teriaknya kemudian
mengejutkanku.
“Cepat minggat! Monyet kecil!!!”
Aku pun berlari meninggalkannya.
Ngeri, tapi senang juga mendapat uang
jajan yang cukup untuk menraktir kawan-kawan ke warung pecel De
Karmonah. Ada baiknya juga orang
sangar ini.
***
[↑] [↓]
Sudah menjadi kebiasaan, pada bulan
Maulud
(Rabi’ul Awwal) Ayah mengadakan
peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW di aula
pesantrennya. Dulu acaranya sederhana saja. Tidak
ada ceramah-ceramah seperti sekarang.
Hanya berzanjenan, membaca syair-
syair madah Al-Banzanji-nya Syeikh
Jakfar Al-Barzanji, untuk mengenang
dan memuji Rasulullah SAW. Orang- orang bergiliran membaca dengan lagu
yang berbeda-beda. Ada yang irama dan
nadanya seperti lagu India, ada yang
seperti
lagu Melayu, ada lagu padang pasir,
dsb. Bahkan ada yang menembak irama lagu
Pengantin Baru. Kalau lagunya agak
sulit, orang-orang yang “koor”
mengikutinya agak kerepotan juga.
Biasanya ada grup rebana yang
mengiringi. Dalam acara semacam ini Ndara Mat
Amit tidak
pernah absen hadir dengan pakaian
kebesarannya yang khas: sarung plekat,
jas yang berkantong besar; peci torbus
merah, dan sepatu dengan kaos kaki tebal.
Dia kelihatan paling bersemangat
menyahuti syair-syair yang dilagukan.
Seperti sosoknya, suaranya juga paling
menonjol. Keras, sember; dan sumbang;
membuat anak-anak muda menahan senyum dan anak-anak kecil cekikikan
campur takut.
Tidak seperti biasanya, dalam acara
seperti itu, Ndara Mat Amit tidak peduli;
dia tetap asyik menyahuti shalawat Nabi
dengan serius dan sepenuh hati. Sampai
suatu ketika, pada acara Mauludan
seperti itu terjadi peristiwa yang menarik. Pada saat asyraqalan, di mana
semua yang hadir berdiri sambil
melantunkan shalawat mulai dari
Thala’al Badru ‘alainaa … Ndara Mat Amit
tampak menunduk-menunduk sambil
menangis meraung-raung. Sementara di bagian lain terlihat
pemandangan yang serupa: Pak Min,
kusir dokar yang biasa mengantar Ayah
bila bepergian agak jauh, juga
menunduk-menunduk sambil menangis,
meski tidak sekeras Ndara Mat Amit. Tentu saja sikap kedua orang itu
menarik perhatian sekalian yang hadir.
bahkan setelah selesai acara
berzanjenan, pada waktu acara makan
bersama,
kulihat Ayah mendekati Pak Min dan menanyainya,
“Kang Min, tadi waktu asyraqalan aku
lihat kamu
kok menunduk-nunduk sambil menangis.
Mengapa?” “Lho, apa Kiai nggak pirso
tadi itu Kanjeng Nabi rawuh?” Kang Min balas bertanya sambil berbisik.
“Lho, masak iya, Kang Min?” ayah
seperti kaget.
“Aku kok nggak melihat.”
“Kusir samber gelap!” tibaa-tiba suara
geledek Ndara Mat Amit menyambar. “Begitu
saja ente pamer-pamerkan, Min, Min!
Dasar kusir kucing
kurap!”
“Siapa yang pamer, Yik (Yik berasal dari
Sayyid = panggilan untuk orang Arab di Jawa)?”
sahut Pak Min.
“Aku kan ditanya Kiai. Memangnya aku
mesti
diam saja ditanya Kiai?” “Kusir tengik,
tak tahu malu!” “Kau ini, Yik, yang tak tahu malu!”
sergah Pak Min dengan berani, membuat
orang-orang tercengang.
“Dari dulu nggak capek-capeknya pakai
topeng
monyet. Sudahlah, Yik, yang wajar- wajar saja!
Untuk apa pakai topeng segala! Ente
pikir, dengan pakai topeng monyet
begitu ente bisa
menyembunyikan diri ente? kusir dokar
saja tahu siapa ente sebenarnya.”
Orang-orang mengira Ndara Mat Amit
akan
meradang dan menerkam atau
setidaknya
menyumpahi Kang Min habis-habisan.
Ternyata tidak. Ndara kita ini malah menunduk dan tak lama kemudian,
“Assalamu’alaikum!” katanya memberi
salam kepada semua, dan –lho!–
ditinggalkannya majlis begitu saja.
Dari kejauhan masih terdengar lamat-
lamat
umpatannya, “Kusir edan!” Sejak itu,
Ndara Mat Amit menghilang. Tak pernah
lagi datang ke kota kami.
Demikian pula Pak Min. tak lama setelah kepergian Ndara Mat Amit, Pak Min pamit
kepada Ayah dan menyerahkan dokar
dan kudanya. Katanya mau pulang ke
desanya, tapi setelah itu tak pernah
kembali.
“Dua orang itu,” kata Ayah saat aku mintai
penjelasan, “Sayyid Muhammad Hamid
–yang
dikenal sebagai Ndara Mat Amit– dan
Kiai Mukmin –yang biasa dipanggil Pak
Min atau Kang Min– sebenarnya sama- sama memakai topeng. Artinya
keduanya ingin menyembunyikan diri
mereka yang sebenarnya agar tidak
dikenali orang. Keduanya ingin tampak
awam, bahkan hina, di depan umum.
Yang satu dengan berlagak kasar tak tahu sopan; yang satunya lagi
bersembunyi dalam pekerjaannya
sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh
yang menyembunyikan diri seperti itu,
bahkan ada yang berpura-pura gila.
Ada yang melakukan hal itu karena khawatir didekati penguasa; ada yang
tak mau kehilangan
kenikmatan sebagai hamba yang papa di
hadapan Allah; ada juga yang semata-
mata karena takut hatinya terserang
ujub.” “Tapi, seperti kau ketahui, takdir
mempertemukan kedua tokoh
bertopeng itu dan tanpa sadar topeng-
topeng mereka terlepas. Keistimewaan
mereka pun terlihat oleh kita. Kamu lihat
waktu berzanjenan itu: dari sekian banyak kiai, tak ada seorang pun yang
melihat kehadiran Rasulullah, juga
Ayah. Hanya mereka berdua. Itu,
waAllahu a’lam, merupakan tanda bahwa
hati mereka memang bersih. hanya
mereka yang mempunyai hati bersih, yang dapat melihat alam malakut dan
roh suci nabi. Ayah yakin mereka berdua
tak akan pernah kembali kemari,
selamanya. Wali mastur, yang
menyembunyikan kesalehannya, selalu
menghilang bila ketahuan umum.”
Rembang, 3 Ramadan 1423
[↑]