[↓]
Cerpen : RIZAL DAN MBAH HAMBALI
Oleh : GUS MUS
Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37
tahun belum terbilang tua benar. Tapi
Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya
selalu mengejeknya sebagai bujang
lapuk, hanya karena dia belum kawin.
Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol
dengan kawan-kawannya itu; hampir di
setiap kesempatan selalu menanyainya
apakah dia sudah mendapatkan calon
pendamping atau belum. Rizal selalu
menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum.
Jangan salah sangka! Tampang Rizal
tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata
kawannya yang sudah lebih dahulu
kawin, tampang Rizal terbilang sangat
manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana
ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?
“Terus teranglah, Zal. Sebenarnya
cewek seperti apa sih yang kau
idamkan?” tanya Andik menggoda, saat
mereka berkumpul di rumah Pak Aryo
yang biasa dijadikan tempat mangkal
para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. “Kalau tahu maumu, kita kan bisa
membantu, paling tidak memberikan
informasi-informasi.”
“Iya, Zal,” timpal Budi, “kalau kau cari
yang cantik, adikku punya kawan cantik
sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak
pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat
sudah dekat lho, Zal.”
“Mungkin dia cari cewek yang hafal
Quran ya, Zal?!” celetuk Eko sambil
ngakak. “Wah kalau iya, kau mesti
meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini.
Dia pasti mempunyai banyak kenalan
santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah.”
“Apa ada ustadz yang rela menyerahkan
anaknya yang hafizhah kepada bujang
lapuk yang nggak bisa ngaji seperti
Rizal ini?” tukas Edy mengomentari.
“Tenang saja, Zal!” ujar Kang Ali, “kalau
kau sudah berminat, tinggal bilang saja
padaku.”
“Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?”
tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan
kawin ikut meledek. Rizal meninju
lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-
apa. Hanya tersenyum kecut.
“Tidak sumbut dengan tampilannmu,”
celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis
menyeruput kopinya. “Tampang boleh,
sudah punya penghasilan lumayan,
sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku
carikan bagaimana?”
“Jawab dong, Zal!” kata Bu Aryo yang
muncul menghidangkan pisang goreng
dan kacang rebus, mencoba
menyemangati Rizal yang tak berkutik
dikerubut kawan-kawannya.
“Biar saja, Bu,” jawab Rizal pendek
tanpa nada kesal. “Kalau capek kan
berhenti sendiri.
Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali
diledek dan digoda kawan-kawannya
soal kawin begitu, dia tidak pernah
marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur
kawan-kawannya memperhatikan
dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa
lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah
mendengar sabda Nabi yang
menganjurkan agar apabila mempunyai
sesuatu hajat yang masih baru rencana
jangan disiar-siarkan. Sudah sering – sampai bosan– Rizal menyatakan
keyakinannya bahwa jodoh akan datang
sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke
mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti
tidak akan terwujud. Jodoh seperti
halnya rezeki. Mengapa orang bersusah- payah memburu rezeki, kalau rezeki itu
sudah ditentukan pembagiannya dari
Atas. Harta yang sudah di tangan
seseorang pun kalau bukan rezekinya
akan lepas. Dia pernah membaca dalam
buku “Hikam”-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang
menarik, “Kesungguhanmu dalam
memperjuangankan sesuatu yang
sudah dijamin untukmu dan
kesambalewaanmu dalam hal yang
dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu.”
Setiap teringat ungkapan itu, Rizal
merasa seolah-olah disindir oleh tokoh
sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya
dirinya selama ini sibuk –kadang-kadang
hingga berkelahi dengan kawan–
mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan
untuknya. Sementara dia sambalewa
dalam berusaha untuk berlaku lurus
menjadi manusia yang baik, sesuatu
yang dituntut Tuhan.
“Suatu ketika mereka akan tahu juga,” katanya dalam hati.
***
[↑] [↓]
Syahdan, pada suatu hari, ketika
kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak
Aryo seperti biasanya, Kang Ali
bercerita panjang lebar tentang seorang “pintar” yang baru saja ia
kunjungi. Kang Ali memang mempunyai
kesukaan mengunjungi orang-orang
yang didengarnya sebagai orang pintar;
apakah orang itu itu kiai, tabib,
paranormal, dukun, atau yang lain. “Aku ingin tahu,” katanya menjelaskan
tentang kesukaannya itu, “apakah
mereka itu memang mempunyai
keahlian seperti yang aku dengar, atau
hanya karena pintar-pintar mereka
membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik.” Karena
kesukaannya inilah, oleh kawan-
kawannya Kang Ali dijuluki pakar “orang
pintar”.
“Meskipun belum tua benar, orang-orang
memanggilnya mbah. Mbah Hambali.
Orangnya nyentrik. Kadang-kadang
menemui tamu ote-ote, tanpa memakai
baju. Kadang-kadang dines pakai jas
segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari
tukang becak hingga menteri. Bahkan
menurut penuturan orang-orang
dekatnya, presiden pernah
mengundangnya ke istana. Bermacam-
macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh,
pejabat yang ingin naik pangkat,
pengusaha pailit yang ingin lepas dari
lilitan utang, hingga caleg nomor urut
sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-
orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab.
Sebagian di antara mereka malah
percaya bahwa beliau waskita, tahu
sebelum winarah.”
Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah
Hambali ini memang lain. Dibanding
orang-orang “pintar” yang pernah ia
kunjungi, mbah yang satu ini termasuk
yang paling meyakinkan
kemampuannya.
“Nah, kalau kalian berminat,” kata Kang
Ali akhirnya, “aku siap mengantar.”
“Wah, ide bagus ini,” sahut Pak Aryo
sambil merangkul Rizal. “Kita bisa minta
tolong atau minimal minta petunjuk
tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu
jodohnya memang melalui Mbah
Hambali itu.”
“Setujuuu!” sambut kawan-kawan yang
lain penuh semangat seperti teriakan
para wakil rakyat di gedung parlemen.
Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa,
hanya diam saja; sambil senyum-
senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah
sikapnya itu karena dia menghargai
perhatian kawan-kawannya dan tak mau
mengecewakan mereka, atau
sebenarnya dia pun setuju tapi malu,
atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka
memintanya untuk menetapkan waktu,
dia tampak tidak ragu-ragu
menyebutkan hari dan tanggal; meski
seandainya yang lain yang
menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal
itu merupakan waktu prei mereka
semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal
yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi
Mbah Hambali. Ternyata benar seperti
cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali
memang luar biasa banyaknya.
Pekarangan rumahnya yang luas penuh
dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka
yang berkunjung datang dari berbagai
daerah. Rumahnya yang besar dan kuno
hampir seluruh ruangnya merupakan
ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari
kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap
dipan beralaskan kasur tipis di mana
Mbah Hambali duduk menerima tamu-
tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah
tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi
diduduki mereka yang mendapat giliran matur.
Ternyata juga benar seperti cerita Kang
Ali, Mbah Hambali memang nyentrik.
Agak deg-degan juga rombongan Rizal
cs melihat bagaimana “orang pintar” itu
memperlakukan tamu-tamunya. Ada
tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu
yang disuruh mendekat, seperti hendak
dibisiki tapi tiba-tiba “Au!” si tamu
digigit telinganya. Ada tamu yang diberi
uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang
dimintai uang dalam jumlah tertentu.
Giliran rombongan Rizal cs diisyarati
disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo,
dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi
salah satu dari mereka angkat bicara,
tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun
dari dipannya, menghampiri Rizal. “Pengumuman! Pengumuman!”
teriaknya sambil menepuk-nepuk
pundak Rizal yang gemetaran.
“Kenalkan ini calon menantu saya!
Sarjana ekonomi, tapi nyufi!” Kemudian
katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, “Sesuai yang
tersurat, kata sudah diucapkan,
disaksikan malaikat, jin, dan manusia.
Apakah kau akan menerima atau menolak
takdirmu ini?”
“Ya, Mbah!” jawab Rizal mantap.
“Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau
menerima anakku sebagai istrimu?”
“Ya, menerima Mbah!” sahut Rizal
tegas.
“Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!”
“Saya menerima, Mbah!”
“Alhamdulillah! Sudah, kamu dan
rombonganmu boleh pulang.
Beritahukan keluargamu besok lusa
suruh datang kemari untuk
membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!”
Di mobil ketika pulang, Rizal pun
dikeroyok kawan-kawannya.
“Lho, kamu ini bagaimana, Zal?” kata Pak
Aryo penasaran. “Tadi kamu kok ya ya
saja, seperti tidak kau pikir.”
“Kau putus asa ya?” timpal Budi. “Atau
jengkel diledek terus sebagai bujang
lapuk, lalu kau mengambil keputusan
asal-asalan begitu?”
“Ya kalau anak Mbah Hambali cantik,”
komentar Yopi, “kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?”
“Pernyataanmu tadi disaksikan orang
banyak lho,” kata Eko mengingatkan.
“Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa
kualat Mbah Hambali nanti!”
“Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah
Hambali, Zal!” kata Andik khawatir.
Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil
senyum-senyum. Kali ini tidak seperti
biasa, Kang Ali juga diam saja sambil
senyum-senyum penuh arti.
***
Rembang, 2004
[↑]