[↓]
Cerpen : Sang Primadona
Oleh: A. Mustofa Bisri
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku
saran! Aku benar-benar pusing. Apabila
masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak
segera menemukan pemecahannya, aku
khawatir akan berdampak buruk terhadap
kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua
permataku yang manis-manis; Gita, dan
Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih
dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang
– katakanlah – kecukupan. Aku dianugerahi
Tuhan wajah yang cukup cantik dan
perawakan yang menawan. Sejak kecil aku
sudah menjadi ‘primadona’ keluarga.
Kedua orangtuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA,
aku pun – alhamdulillah – juga disayangi
guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku
sering mewakili sekolah dalam
perlombaan-perlombaan dan tidak jarang
aku menjadi juara. Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari.
Waktu SMP aku mendapat piala dalam
lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku
pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat
propinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi
akhirnya aku menjadi artis di ibu kota
seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil
aku ingin menjadi pengacara yang di
setiap persidangan menjadi bintang,
seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa
semester kuliah, aku memenangkan lomba
foto model. Lalu ditawari main sinetron
dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku
pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di
negeri ini, aku pun kemudian menjadi
incaran perusahaan-perusahaan untuk
pembuatan iklan; diminta menjadi
presenter dalam acara-acara seremonial;
menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-
seminar bersama tokoh-tokoh
cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi
aku hanya dijadikan alat menarik peminat.
Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor
standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku
menghibur diriku dengan mengatakan
kepada diriku, “Ah, belajar kan tidak harus
di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah
ujung-ujungnya kan untuk mencari
materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa;
bukankah kini aku sudah menjadi super
bintang. Materi cukup.”
Memang sebagai perempuan yang belum
bersuami, aku cukup bangga dengan
kehidupanku yang boleh dikata serba
kecukupan. Aku sudah mampu membeli
rumah sendiri yang cukup indah di
kawasan elite. Kemana-mana, ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku
bangga bisa menjadi perempuan yang
mandiri. Tidak lagi bergantung kepada
orangtua. Bahkan kini sedikit-banyak aku
bisa membantu kehidupan ekonomi
mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah,
masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar
menyenangkan orang tua, aku
mengundang mereka dari kampung. Ibuku
yang biasanya nyinyir mengomentari apa
saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-
itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang
dewasa. Entah kenyataannya demikian
atau hanya karena segan kepada anaknya
yang kini sudah benar-benar hidup
mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan,
baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
“Nduk, ibadah itu penting.”; “Bagaimana
pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!”;
“Sempatkan membaca Quran yang pernah
kau pelajari ketika di kampung dulu, agar
tidak hilang.”; “Bila kamu mempunyai
rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.” Ya,
kalimat-kalimat semacam itulah yang
masih sering beliau wiridkan. Mula-mula
memang aku perhatikan; bahkan aku
berusaha melaksanakan nasihat-nasihat
itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru
risi dan menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak
orang yang mengidolakanku. Tapi ada
seorang yang mengagumiku justru
sebelum aku menjadi setenar sekarang
ini. Tidak. Ia tidak sekadar
mengidolakanku. Dia mencintaiku habis- habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya
dengan hampir selalu hadir dalam event-
event dimana aku tampil; ia juga setia
menungguiku shooting film dan
mengantarku pulang. Tidak itu saja;
hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telpon atau mengirim SMS yang
seringkali hanya untuk menyatakan
kangen.
Diantara mereka yang mengagumiku,
lelaki yang satu ini memang memiliki
kelebihan. Dia seorang pengusaha yang
sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan
penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya
aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil
dipersuntingnya. Tidak perlu aku
ceritakan betapa meriah pesta perkawinan
kami ketika itu. Pers memberitakannya
setiap hari hampir dua minggu penuh.
Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orangtuaku yang memang sejak
lama menghendaki aku segera mengakhiri
masa lajangku yang menurut mereka
mengkhawatirkan.
[↑] [↓]
Begitulah; di awal-awal perkawinan, semua
berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan
madu yang singkat, aku kembali menekuni
kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun
tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi
sesuatu yang benar-benar merubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak
keduaku, lahir, perusahaan suamiku
bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami,
terutama suamiku, tidak siap menghadapi
situasi yang memang tidak terduga ini.
Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama
sekali. Dia jadi pendiam dan gampang
tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti
dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar.
Dia yang dulu jarang keluar malam,
hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja
yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa
kali kutanya dia selalu marah-marah, aku
pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih
terus mendapatkan kontrak pekerjaan.
Sehingga, dengan sedikit menghemat,
kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu
terganggu. Yang terganggu justru
keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa
saja bisa menjadi masalah. Sepertinya
apa saja yang aku lakukan, salah di mata
suamiku. Sebaliknya menurutku justru
dialah yang tak pernah melakukan hal-hal
yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin
anak-anak menyaksikan orangtua mereka
bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak
tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering
mendengar teriakan-teriakan kasar dari
mulut-mulut kedua orangtua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu
di rumah. Masyaallah. Aku tak bisa
menahan tangisku setiap terbayang
tatapan tak mengerti dari kedua anakku
ketika menonton pertengkaran kedua
orangtua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan
sesama artis mengajakku mengikuti
kegiatan yang mereka sebut sebagai
pengajian atau siraman rohani. Mereka
melaksanakan kegiatan itu secara rutin
dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik
bergabung dalam kegiatan ini setelah
kemelut melanda rumahtanggaku. Apakah
ini sekadar pelarian ataukah – mudah-
mudahan – memang merupakan hidayah
Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di
tengah-tengah majlis pengajian. Ada
sesuatu yang menyentuh kalbuku yang
terdalam, baik ketika sang ustadz
berbicara tentang kefanaan hidup di dunia
ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal
sebagai bekal, maupun ketika mengajak
jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung.
Memikirkan tentang diriku sendiri dan
kehidupanku. Aku tidak lagi melayani
ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya
aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku
menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang
diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi
juga pengajian-pengajian lain termasuk
yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja,
aku juga getol membacai buku-buku
keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-
kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku
sebagai artis, aku menikmati kegiatan-
kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah
seorang ustadz mempercayaiku untuk
menjadi ‘asisten’nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk
mengisi pengajian. Inilah yang memicu
semangatku untuk lebih getol membaca
buku-buku keagamaan. O ya, aku belum
menceritakan bahwa aku yang selama ini
selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya
tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak
kepulanganku dari umrah bersama kawan-
kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai
busana muslimah yang menutup aurat.
Malah jilbabku kemudian menjadi trend yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis,
aku berkembang dan meningkat menjadi
‘tokoh masyarakat’ yang diperhitungkan.
Karena banyaknya ibu-ibu yang sering
menanyakan kepadaku mengenai berbagai
masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi
yang kami namakan “Biro Konsultasi
Keluarga Sakinah Primadona”. Aku pun
harus memenuhi undangan-undangan –
bukan sekadar menjadi ‘penarik minat’
seperti dulu – sebagai narasumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah
keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan
bahkan politik. Belum lagi banyaknya
undangan dari panitia yang sengaja
menyelenggarakan forum sekadar untuk
memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa
menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan
volume kegiatan kemasyarakatan yang
sedemikian tinggi, kondisi kehidupan
rumah tanggaku sendiri seperti yang
sudah aku ceritakan, tentu semakin
terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku
semakin minim terhadap anak-anak;
apalagi terhadap suami yang semakin
menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus
terang, gara-gara suami, sebenarnyalah
aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku
terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku
menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Di kamar suamiku, aku menemukan
lintingan rokok ganja. Semula aku diam
saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun
menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula
dia seperti kaget, tapi kemudian
mengakuinya dan berjanji akan
menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku
terkejut setengah mati. Ketika aku baru
naik mobil akan pergi untuk suatu urusan,
sopirku memperlihatkan bungkusan dan
berkata: “Ini milik siapa, bu?”
“Apa itu?” tanyaku tak mengerti.
“Ini barang berbahaya, bu;” sahutnya
khawatir, “ini ganja. Bisa gawat bila
ketahuan!”
“Masyaallah!” Aku mengelus dadaku.
Sampai sopir kami tahu ada barang
semacam ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku
segera menemui suamiku dan berbicara
sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku
dan berjanji kapok, tak akan lagi
menyentuh barang haram itu. Tapi seperti
sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya.
Aku sempat berpikir, jangan-jangan
kelakuannya yang kasar itu, akibat
kecanduannya mengkonsumsi barang
berbahaya itu. Lebih jauh aku
mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi.
Memang terpikir keras olehku untuk
meminta cerai saja, demi kemaslahatanku
dan terutama kemaslahatan anak-anakku.
Namun seiring maraknya trend kawin-cerai
di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan
memuji-muji keharmonisan kehidupan
rumahtanggaku. Bagaimana mereka ini
bila tiba-tiba mendengar – dan pasti akan
mendengar – idolanya yang konsultan
keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa
depan anak-anakku. Aku sudah sering
mendengar tentang nasib buruk yang
menimpa anak-anak orangtua yang
bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku
harus mengorbankan rumahtanggaku demi
kegiatan kemasyarakatanku, ataukah
sebaiknya aku menghentikan kegiatan
kemasyarakatan demi keutuhan
rumahtanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing! {}
{Lihat Bacaan}
* Dimuat di Jawa Pos, Edisi 11/27/2005
[↑]