[↓]
Cerpen : Syabakhronni dan Kawan-Kawan
Oleh : A Mustofa Bisri
MALAM itu, keduanya, Syabakhronni dan
ibunya, duduk di atas ranting pohon randu
alas dengan kaki-kaki mereka menjuntai
santai. Mereka masih membicarakan
keinginan si anak yang oleh ibunya
dianggap sangat aneh. Si anak ngotot ingin mempersunting wanita metropolitan
"Gila kau ini, Ronni!" Kata si ibu setengah
jengkel, "Apanya yang menarik dari
wanita itu? Dia bukan gadis lagi dan
wajahnya kasar begitu! Sedangkan di sini,
gadis-gadis ayu dan mulus begitu banyak.
Kau tinggal tunjuk dan ibumu ini akan menjemputnya untukmu."
"Bu, saya tidak tahu," jawab Syabakhronni,
"Begitu saya melihatnya, wajahnya
seperti melekat terus di pelupuk mata
saya. Meski tidak perawan dan wajahnya
tidak cantik, dia orang baik, Bu. Orang baik
yang nasibnya buruk. Saya ingin memperbaiki nasibnya dengan
menyuntingnya."
"Pikirkan lagi, Ronni!," kata ibu
Syabakhronni masih belum putus asa
menasihati
anaknya yang paling bandel itu, "Kau ini
siapa, dia itu siapa?"
"Ibu ini kuno," sergah si Syabakhronni
sambil mengayun-ayunkan kakinya di atas
ranting, "Pokoknya ibu merestui atau
tidak, saya harus mengawininya. Jika ibu
tak mau melamarkannya, saya bisa
melamarnya sendiri."
"Lho, kamu sudah mengenalnya atau dia
juga sudah mengenalmu, kok tahu-tahu
mau
melamar?"
"Pokoknya!" teriak si Syabakhronni sambil
langsung meloncat, meninggalkan gaung
suaranya dalam sepi malam. Beberapa
rombongan kelelawar tiba-tiba bersiutan
seperti mencari asal suara gaung. Ibunya
pun tidak bisa lain kecuali geleng-geleng kepala dan bergumam
seperti suara burung hantu, "Syabakhronni,
Syabakhronni!"
***
Malam itu juga, di dasar sebuah sumur
tua, Bhilmaltoqin sedang bersitegang
dengan ayahnya dalam persoalan yang
hampir sama.
"Pokoknya ayah setuju atau tidak," kata
Bhilmaltoqin ngotot, "Saya akan terus
berusaha mendapatkannya!"
"Inilah akibatnya," teriak si ayah, "Kapan
sejak awal aku sudah bilang, kau
jangan keseringan ngintip kehidupan
mereka. Kau bisa seperti mereka,
kehilangan
penalaran sehat. Nah, ternyata sekarang kau sudah kehilangan penalaran sehat
seperti mereka. Nanti dulu, jangan potong
bicaraku! Perempuan yang kau incar
itu, katamu kan sudah punya suami dan
mereka saling mencintai satu sama lain.
Lalu apakah kau mau menghancurkan kehidupan rumah tangga mereka yang
sedemikian
damai selama ini? Di mana otakmu?"
"Tapi...."
"Diam! Aku bilang jangan potong bicaraku.
Aku tahu kau ingin mengatakan bahwa
kau sudah terlanjur cinta, begitu kan?!
Kau benar-benar sudah ketularan kelakuan
mereka. Alasan itulah yang selalu mereka
katakan bila ingin mendesakkan kemauan mereka untuk kawin. Padahal, mereka,
seperti kau, sama sekali tak tahu makna
cinta. Buktinya baru dua-tiga bulan kawin,
mereka sudah bercerai dan saling
menghujat. Cinta apa itu?"
"Lho, ayah ini bagaimana?" tukas
Bhilmaltoqin jengkel, "Saya
memberitahukan niat
saya kepada ayah ini, hanya karena saya
menghormati ayah; bukan mau minta
pendapat ayah. Ngapain, apa selama ini kalau ayah punya niat melakukan sesuatu,
pernah minta pendapat saya? Sudah;
pokoknya, ayah setuju atau tidak, saya
akan
tetap melaksanakan niat saya. Habis
perkara!" Bhilmaltoqin tidak menunggu lagi
reaksi ayahnya; selesai bicara langsung
terbang menghilang, diikuti sumpah
serapah ayahnya, "Bocah edan!"
***
Juga di malam yang sama, di sebuah
kuburan tua, Bussipatti dan ibunya sedang
bercengkerama mengenai persoalan yang
nyaris serupa. Namun, tampaknya
Bussipattilah yang mendominasi
pembicaraan. Ibunya hampir hanya sebagai pendengar dan sesekali saja berkomentar;
ini pun tidak pernah bernada membantah.
"Bayangkan, Bu," tutur Bussipatti sambil
kedua matanya seperti menghipnotis
ibunya, "Dia itu adalah lelaki yang sangat
sempurna, cakep dan pintar. Di sana
disebut intelektual, gelarnya doktor.
Doktor sungguhan, Bu; bukan doktor dari membeli. Dia bisa menjelaskan hal-hal
yang tidak mungkin menjadi sangat
mungkin.
Ibadahnya juga rajin. Pendek kata lelaki
yang sempurnalah!"
"Tapi, nDuk, katamu dia itu sudah
berkeluarga," sela si ibu tanpa nada
ketidaksetujuan, "Apa tidak repot nanti?
Bagaimana dia akan membagi
perhatiannya?"
"Ah, biar saja. Kan namanya usaha, Bu.
Saya sudah mendapat dukungan kawan-
kawan
untuk memperoleh perhatiannya yang
lebih. Percayalah, Bu; anakmu ini tidak
akan salah pilih. Hasrat anakmu sudah tidak bisa
dibendung lagi."
"Ya, tapi, hati-hati lho, nDuk!"
***
[↑] [↓]
Di malam lain di dalam relung pohon
beringin tua di kelebatan alas Roban yang
angker, mereka berkumpul dalam
kegeraman kolektif. Syabakhronni,
Bhilmaltoqin,
dan Bussipatti tampak paling geram. Ternyata mereka bertiga bernasib sama.
Cinta
mereka tidak ditanggapi semestinya.
Bahkan, Syabakhronni tidak hanya ditolak,
tapi juga merasa mendapat perlakuan
yang tidak kepalang menyakitkan.
"Berkenalan
saja, dia tidak mau. Kurang ajar betul!"
gerutunya dengan suara tertekan,
"Padahal sebelumnya sudah aku
observasi, menurut orang-orang di
sekelilingnya dia itu perempuan baik. Suka bergaul.
Santun dan suka menolong. Maka aku
memilihnya antara lain karena sayang dan
ingin mengubah nasibnya yang kurang
beruntung. E, melihatku, belum-belum
sudah seperti merasa jijik. Sialan! Sok alim! Dia belum tahu siapa aku. Awas!"
Bhilmaltoqin dan Bussipatti yang juga
merasa ditolak cintanya--bahkan
kawan-kawan mereka yang lain yang
kecewa dalam perkara yang lain--
bertambah
marah mendengar kemarahan senior mereka itu.
"Kita mesti membalas perlakuan mereka!,"
kata Bhilmaltoqin.
"Ya. Mereka harus diberi pelajaran!,"
sambut Bussipatti.
"Ya, ya!," dukung mereka yang lain.
"Kita tidak akan sekadar memberi
pelajaran yang setimpal," geram
Syabakhronni
menyatakan tekadnya, "Tapi sesuatu yang
membuat mereka dan kawan-kawan
mereka semua akan bertekuk lutut dan menjadi
budak-budak kita selamanya."
Karena keputusan sudah diambil, yaitu
menghajar orang-orang yang mereka
anggap
telah merendahkan dan mengecewakan
mereka. Maka sepanjang malam, mereka
tinggal membahas mengenai taktik dan strategi
untuk melaksanakan keputusan itu.
"Aku akan menyamar sebagai malaikat
Jibril!," tegas Syabakhronni membuat
teman-temannya kaget setengah mati.
Mereka tidak meragukan kemampuan
Syabakhronni berganti-ganti rupa, tapi....
"Malaikat Jibril?," pekik Bhilmaltoqin, "Apa
tidak terlalu riskan? Bagaimana
kalau para malaikat marah dan justru
membantu mereka melawan kita?"
"Iya, Kang," sambut Bussipatti, "Malaikat
Jibril itu pemimpin tertinggi
malaikat. Jika tersinggung, kita bisa
berabe!"
"Justru itu, aku akan menjadi pemimpin
para malaikat itu,"
sergah Syabakhronni
mantap, "Tidak yang lain. Orang-orang
yang kita hadapi itu hanya menang
semangat
saja, seperti mereka yang dibawa rekan- rekan kita untuk membakar ke sana-kemari
atas nama Tuhan. Bagi mereka, yang
penting merasa di jalan Tuhan dan inilah
titik masuk kita. Asal mereka sudah
merasa di jalan Tuhan, maka apa pun bisa
mereka lakukan. Maka ingat; strategi kita ialah menjaga mereka agar tetap merasa
di jalan Tuhan. Maka figur malaikat
Jibrillah yang paling pas untuk itu. Kita
kan bukan mereka; kita tahu bahwa
malaikat itu hanya melakukan perintah
Tuhan dan masing-masing sudah punya tugasnya
sendiri-sendiri. Mereka pikir malaikat
itu seperti mereka, bisa keluyuran
seenaknya sendiri. Mereka tidak tahu
bahwa
untuk ke jalan Tuhan, apalagi mendekati dan mencintai-Nya, membutuhkan ilmu.
Ilmu tentang Tuhan itu sendiri, tentang
para malaikat, dan makhluk-makhluk-Nya
yang lain. Tuhan menolong melalui ilmu
dan kepekaan
nurani. Tanpa ilmu dan kepekaan nurani, mereka pasti tidak bisa membedakan
antara bisikan malaikat dan bisikan kita.
Sedangkan membedakan antara gairah
keagamaan dan nafsu saja, mereka tidak
mampu. Ini justru akan memudahkan kita.
Lihatlah nanti! Kita buat mereka bersimpuh di kaki kita dan melupakan
dunia-akhirat mereka!"
Menjelang dini hari pertemuan mereka
baru usai. Dan besoknya mereka sudah
mulai
melaksanakan rencana mereka.
***
Di suatu malam yang lain, di tengah-tengah
kota, di ruangan yang indah
menyenangkan bertaburkan bunga-bunga,
berkumpul puluhan orang yang jatuh cinta.
Seperti biasa, pimpinan mereka
menyampaikan khotbah dan ramalannya, dan kemudian
mereka pun bersorak-sorak, menyanyi, dan
menari dengan riang gembira. Menurut
berita yang beredar, mereka itu sedang
melakukan kegiatan spiritual yang
dipimpin langsung oleh malaikat Jibril. Di samping memberi pelajaran-pelajaran
tentang masa depan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, malaikat Jibril
ternyata
juga pintar menghibur. Sering kali beliau
memperlihatkan permainan-permainan indah di langit, membisikkan kata-kata
yang mengasyikkan; mendiktekan
impian-impian, mengajari mereka
nyanyian-nyanyian, dan tari-menari. Konon
nabi-nabi pun berdatangan dari langit
untuk mendengarkan ajaran dan nyanyian pemimpin para malaikat itu.
Di suatu malam tertentu, seperti malam-
malam tertentu sebelumnya, Syabakhronni
dan kawan-kawannya mengadakan pesta
kemenangan, kali ini di atas sebuah pulau
mati. Mereka juga mengevaluasi kerja
mereka dan memusyawarahkan langkah- langkah
yang akan mereka lakukan berikutnya, bagi
lebih menyempurnakan program
pelampiasan dendam mereka. Memang ada
yang usul kepada Syabakhronni agar
kegiatan mereka disudahi saja. "Toh, orang yang menolak cinta kakang
Syabakhronni sudah berada di telapak kaki
kakang. Kakang suruh apa pun dia mau
melakukannya sekarang. Mau apa lagi? Kan
kasihan orang-orang yang tidak ada
sangkut-pautnya ikut terseret-seret." Tapi Syabakhronni mentertawakan usul itu.
"Bodoh kau!" katanya menyeringai, "Kita
dapat hiburan yang mengasyikkan kok mau
berhenti. Apa kau ingin kita kembali hanya
menggoda bayi-bayi dan anak-anak
ingusan saja? Kalau kau mau begitu
silakan saja!"
"Bukan begitu, kakang; aku cuma khawatir.
Apalagi tipuan-tipuan kakang sudah
semakin keterlaluan. Kalau ada di antara
mereka yang sedikit saja kembali ke
akal sehatnya, permainan kita akan
ketahuan. Belum lagi kalau para malaikat betulan turun tangan membantu mereka.
apakah sejauh ini dendam kakang belum
terpuaskan?"
"Tidak," sergah Sabakhranni berang,
"sekali lagi tidak!! Kita, paling tidak aku
sendiri, tidak akan menghentikan
permainan ini. Ini sudah bukan lagi soal
dendam. Ini sudah merupakan keasyikan!
Kalian tidak merasakannya? Adalah bodoh menghentikan keasyikan yang sedang
berlangsung. Lagi pula, kalaupun
kekhawatiranmu itu terjadi, kita ketahuan,
apa rugi kita? Pokoknya kita terus.
Terus! Yang tidak setuju silakan minggir!
Minggir sekarang juga!"
Semuanya terdiam tak berkutik. Termasuk
yang tadi usul. Tak ada lagi yang ingin
menyatakan pendapat. Pulau mati pun
semakin terasa mati.
***
Penulis adalah Pemimpin Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang,
Jawa
Tengah
[↑]