[↓]
Cerpen : WABAH
Oleh : GUS MUS
Mula-mula tak ada seorang pun di rumah
keluarga besar itu yang berterus terang.
Masing-masing memendam pengalaman
aneh yang dirasakannya dan curiga kepada
yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, "Bau apa ini?" Lalu keadaan itu
meningkat menjadi bisik-bisik antar
"kelompok" dalam keluarga besar itu.
Kakek berbisik-bisik dengan nenek. "Kau
mencium sesuatu, nek?"
"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab
nenek.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau
aneh tak sedap ini?"
"Mungkin anakmu."
"Belum tentu; boleh jadi cucumu!"
"Atau salah seorang pembantu kita."
Ayah berbisik-bisik dengan ibu. "Kau
mencium sesuatu, Bu?"
"Ya. Bau aneh yang tak sedap!"
jawab ibu.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau
aneh tak sedap ini?"
"Mungkin ibumu."
"Belum tentu; boleh jadi menantumu."
"Atau salah seorang pembantu kita."
Demikianlah para menantu pun berbisik-
bisik dengan istri atau suami masing-
masing. Anak-anak berbisik antarmereka.
Para pembantu berbisik-bisik
antarmereka. Kemudian keadaan
berkembang menjadi bisik-bisik lintas "kelompok". Kakek berbisik-bisik dengan
ayah atau menantu laki-laki atau pembantu
laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu
atau menantu perempuan atau pembantu
perempuan. Para menantu berbisik-bisik
dengan orang tua masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya
atau menantu perempuannya atau
pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik
dengan anak laki-lakinya atau menantu
laki-lakinya atau pembantu laki-laki.
Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.
Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira
hanya tercium oleh masing-masing itu
semakin menjadi masalah, ketika bisik-
bisik berkembang menjadi saling curiga
antarmereka. Apalagi setiap hari selalu
bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya
apabila sedang berkumpul. Akhirnya
setelah semuanya menutup hidung setiap
kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa
ternyata semuanya mencium bau aneh tak
sedap itu.
Mereka pun mengadakan pertemuan
khusus untuk membicarakan masalah yang
mengganggu ketenangan keluarga besar
itu. Masing-masing tidak ada yang mau
mengakui bahwa dirinya adalah sumber
dari bau aneh tak sedap itu. Masing- masing menuduh yang lainlah sumber bau
aneh tak sedap itu.
Untuk menghindari pertengkaran dan agar
pembicaraan tidak mengalami deadlock,
maka untuk sementara fokus pembicaraan
dialihkan kepada menganalisa saja
mengapa muncul bau aneh tak sedap itu.
Alhasil, didapat kesimpulan yang
disepakati bersama bahwa bau itu timbul
karena kurangnya perhatian terhadap
kebersihan. Oleh karena itu diputuskan
agar semua anggota keluarga
meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri maupun lingkungan. Selain
para pembantu, semua anggota keluarga
diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan
rumah dan halaman. Setiap hari, masing-
masing mempunyai jadwal kerja bakti
sendiri. Ada yang bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang
tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi,
dan seterusnya. Sampah tidak boleh
dibuang di sembarang tempat. Menumpuk
atau merendam pakaian kotor dilarang
keras.
Juga disepakati untuk membangun
beberapa kamar mandi baru. Tujuannya
agar tak ada seorang pun anggota
keluarga yang tidak mandi dengan alasan
malas. Siapa tahu bau itu muncul justru
dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan
memakai parfum dan menyemprot kamar
masing-masing dengan penyedap
ruangan. Semua benda dan bahan makanan
yang menimbulkan bau seperti trasi, ikan
asin, jengkol, dan sebagainya dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam
rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat
ditanami, ditanami bunga-bunga yang
berbau wangi seperti mawar, melati,
kenanga, dan sebagainya.
[↑] [↓]
Ketika kemudian segala upaya itu ternyata
tidak membuahkan hasil dan justru bau
aneh tak sedap itu semakin menyengat,
maka mereka menyepakati untuk beramai-
ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan
ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap
sesuatu penyakit. Mereka percaya ada
beberapa penyakit yang dapat
menimbulkan bau seperti sakit gigi, sakit
lambung, paru-paru, dan sebagainya.
Pertama-tama mereka datang ke puskesmas dan satu per satu mereka
diperiksa. Ternyata semua dokter
puskesmas yang memeriksa mereka
menyatakan bahwa mereka semua sehat.
Tak ada seorang pun yang mengidap
sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun
mendatangi dokter-dokter spesialis;
mulai dari spesialis THT, dokter gigi,
hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama
saja. Semua dokter yang memeriksa tidak
menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya.
Mereka merasa gembira karena oleh
semua dokter --mulai dari dokter
puskesmas hingga dokter-dokter
spesialis-- di kota, mereka dinyatakan
sehat. Setidak-tidaknya bau aneh dan
busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari
penyakit yang mereka idap. Namun ini
tidak memecahkan masalah. Sebab bau
aneh tak sedap itu semakin hari justru
semakin menyesakkan dada. Mereka pun
berembug kembali.
"Sebaiknya kita cari saja orang pintar;"
usul kakek sambil menutup hidung, "siapa
tahu bisa memecahkan masalah kita ini."
"Paranormal, maksud kakek?" sahut salah
seorang menantu sambil menutup hidung.
"Paranormal, kiai, dukun, atau apa sajalah
istilahnya; pokoknya yang bisa melihat hal-
hal yang gaib."
"Ya, itu ide bagus," kata ayah sambil
menutup hidung mendukung ide kakek,
"Jangan-jangan bau aneh tak sedap ini memang bersumber dari makhluk atau
benda halus yang tidak kasat mata."
"Memang layak kita coba," timpal ibu
sambil menutup hidung, "orang gede dan
pejabat tinggi saja datang ke "orang
pintar" untuk kepentingan pribadi, apalagi
kita yang mempunyai masalah besar
seperti ini."
Ringkas kata akhirnya mereka beramai-
ramai mendatangi seorang yang terkenal
"pintar". "Orang pintar" itu mempunyai
banyak panggilan. Ada yang
memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja.
Mereka kira mudah. Ternyata pasien "orang pintar" itu jauh melebihi pasien
dokter-dokter spesialis yang sudah
mereka kunjungi. Mereka harus antre
seminggu lamanya, baru bisa bertemu
"orang pintar" itu. Begitu masuk ruang
praktik sang Eyang atau sang Kiai atau sang Ki, mereka terkejut setengah mati.
Tercium oleh mereka bau yang luar biasa
busuk. Semakin dekat mereka dengan si
"orang pintar" itu, semakin dahsyat bau
busuk menghantam hidung-hidung
mereka. Padahal mereka sudah menutupnya dengan semacam masker
khusus. Beberapa di antara mereka sudah
ada yang benar-benar pingsan. Mereka pun
balik kanan. Mengurungkan niat mereka
berkonsultasi dengan dukun yang ternyata
lebih busuk baunya daripada mereka itu.
Keluar dari ruang praktik, mereka baru
menyadari bahwa semua pasien yang
menunggu giliran ternyata memakai
masker. Juga ketika mereka keluar dari
rumah sang dukun mereka baru ngeh
bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan, ternyata memakai masker.
Mungkin karena beberapa hari ini seluruh
perhatian mereka tersita oleh problem bau
di rumah tangga mereka sendiri, mereka
tidak sempat memperhatikan dunia di luar
mereka. Maka ketika mereka sudah hampir
putus asa dalam usaha mencari pemecahan problem tersebut, baru
mereka kembali membaca koran, melihat
TV, dan mendengarkan radio seperti
kebiasaan mereka yang sudah-sudah. Dan
mereka pun terguncang. Dari siaran TV
yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka
dengarkan kemudian, mereka menjadi
tahu bahwa bau aneh tak sedap yang
semakin hari semakin menyengat itu
ternyata sudah mewabah di negerinya.
Wabah bau yang tak jelas sumber asalnya
itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi
setelah korban berjatuhan setiap hari dan
jumlahnya terus meningkat. Ulasan-ulasan
cerdik pandai dari berbagai kalangan
ditayangkan di semua saluran TV, diudarakan melalui radio-radio, dan
memenuhi kolom-kolom koran serta
majalah. Bau aneh tak sedap itu disoroti
dari berbagai sudut oleh berbagai pakar
berbagai disiplin. Para ahli kedokteran,
ulama, aktivis LSM, pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi,
menyampaikan pendapatnya dari sudut
pandang masing-masing. Mereka semua --
seperti halnya keluarga besar kita--
mencurigai banyak pihak sebagai sumber
bau aneh tak sedap itu. Tapi --seperti keluarga besar kita--tak ada seorang pun
di antara mereka yang mencurigai dirinya
sendiri.
Hingga cerita ini ditulis, misteri wabah bau
aneh tak sedap itu belum terpecahkan.
Tapi tampaknya sudah tidak merisaukan
warga negeri --termasuk keluarga besar
itu-- lagi. Karena mereka semua sudah
terbiasa dan menjadi kebal. Bahkan masker penutup hidung pun mereka tak
memerlukannya lagi. Kehidupan mereka
jalani secara wajar seperti biasa dengan
rasa aman tanpa terganggu.
***
Rembang, 6 Juni 2003
[↑]